Kalau di bulan puasa saya sangat suka dengan film yang judulnya Para Pencari Tuhan, tapi judul di tulisan di atas ini bukan judul film. Yang pasti saya gak akan suka karena bukan film ataupun sinetron, judul di atas hanya sekedar judul yang saya nobatkan kepada teman-teman KKN saya yang sangat gigih dan berjuang mati-matian mencari sinyal.
Awalnya mereka (mungkin termasuk saya) kebingungan ketika hape mereka seakan hanya seperti ‘gameboard’. Tau kenapa? itu karena yang bisa dilakukan hape cuma maen game. Kalau yang lebih canggih hapenya bisa sambil memfoto, dengerin lagu, dan lainnya. Tapi yang gak canggih-canggih amat paling cuma diajakin tidur di sampingnya. Pas di samping bantal. Berharap dia bisa hidup dan berkata, “hei, selamat tidur yaa…”
Maka demi menjaga kehormatan hape, mereka pergi keluar. Berjalan-jalan sedikit ke tempat yang lebih tinggi. Dan Aha!! akhirnya hape tersebut kembali kehormatannya sebagai alat untuk berhubungan. Sinyal kecil, datang dengan perlahan. Menyapa si hape. Hape menampilkan garis kecil, satu, dilayar. Berarti sinyal satu. Kemudian si hape berbunyi-bunyi beruntun, tanda ada sms-sms masuk. Si pemilik hape pun ceria.
Begitu setiap harinya, jika ada waktu luang mereka pergi ke jalan yang agak sedikit tinggi. Kemudian senyum-senyum sendiri sambil memijit-mijit hape. Sampai akhirnya seseorang datang.
Beliau datang dengan membawa anaknya yang sepertinya sakit ke rumah ibu bidan persis di sebelah rumah kami (posko kkn cowok). Jadi kami tinggal di rumah yang tadinya ingin dijadikan kantor ibu2 PKK. Belum jadi sih, makanya kami bawa karpet banyak karena lantainya masih semen yang setengah jadi. Kalau para wanitanya menetap di kantor pembakal. Mereka sulap menjadi kamar sekaligus dapur, sekaligus tempat makan, sekaligus juga tempat rapat kelompok KKN kami. Lokasinya dekat, hanya terpisah oleh tiang dan tali jemuran dengan rumah para mahasiswa perjaka lelaki (kami maksudnya(para cowok maksudnya (wah..tanda kurungnya berlapis-lapis))).
Kembali ke beliau yang datang membawa anaknya. Sambil menunggu diperiksa anaknya oleh ibu bidan dan ditemani istrinya, beliau berbincang sebentar dengan kami. Kami pun berbincang juga dengan beliau. Bercerita-cerita, basa-basi, seperti, “dari mana dek?” Maka dijawab, “dari UNLAM pak”. Ya untung saja gak dijawab, “dari hati pian.”
Akhirnya kami berbincang ke permasalahan yang sangat urgent. Ia terdiri dari enam huruf, diawali dengan huruf S diakhiri dengan huruf L. SINYAL. Sebagai orang kota metropolitan, sinyal adalah barang berharga. Melebihi apapun. “Oooh,,, itu biasa mas… Coba tempelkan ke jendela…”
“Hapenya pak?”
“Iya,,,nanti ada sinyalnya….”
salah satu dari kami berlari masuk ke dalam rumah. Mengambil hape kemudian mempraktekkannya langsung. “Wiiihh,,,,hi ih bujuran ada….”
Akhirnya setelah hari itu…salah satu jendela rumah kami dijadikan layaknya telepon umum. Hape berjejer di jendela. Sesekali kalau lupa di nonaktifkan getarnya, ada saja yang terjun bebas hapenya ke lantai dengan indah.
Itu salah satu cara paling ampuh kalau sedang di rumah. Cara yang pertama tadi masih digunakan kalau ingin bertelpon ria dan tidak mau didengar yang lain. Dan di hari akhir-akhir KKN ditemukan lagi cara baru dan lebih mengasyikkan, naik ke bukit. Sambil melihat pemandangan yang luar biasa indah, kalian bisa memijat-mijat si hape dengan ceria, karena sinyal untuk internet juga dapat di sini. Atau bermesraan dengan si hape dengan mendekatkannya ke pipi anda, sambil berbicara dengannya.
NIce, Bagi Orang Metropolitan
BalasHapusterima kasih komentarnya ^^
Hapus