Langsung ke konten utama

Menulis adalah Ekskresi (jiplak judul artikel kang divan)

"Menulis adalah ekskresi!" begitu judul yang disampaikan kang divan di blognya. Hei, saya sepakat. Kata ekskresi yang ketika sekilas membaca pikiran langsung melompat ke tempat-tempat pembuangan di tubuh, seperti ini dan itu (sambil menunjuk sesuatu), cukup pas untuk menggambarkan istilah menulis. 

Wajar saja ketika saya berhenti membuat tulisan, berarti ada dua kemungkinan. Pertama saya tidak "makan". Atau kedua saya tidak membuang hasil proses metabolisme tadi dengan baik. Nah, jadi pelajaran biologi nih...
"Maksudnya bagaimana?" celetuk seseorang dari kejauhan.

"Begini,,, " saya menjelaskan dengan keren.

Ekskresi adalah proses dimana tubuh mengeluarkan toksin-racun yang ada di dalam tubuh. Proses ini diawali dengan proses mencerna sesuatu yang masuk dalam tubuh kemudian zat-zat yang tidak berguna dan akan menyebabkan sakit akan dikeluarkan.

Menulis bisa juga dikatakan demikian. Ketika banyak sekali input-input, informasi, data, yang berseliweran di kepala kita selama beberapa waktu, biasanya kita akan merasa kepala ingin pecah. Maka salah satu cara terbaik mengeluarkannya adalah dengan memuntahkan semuanya melalui sebuah tulisan. Dengan demikian segala inputan tadi tidak menjadi racun dalam kepala kita, malh menjadi sesuatu yang berguna dalam bentuk tulisan.
"Hei..hei... Kalau dikatakan menulis sama dengan ekskresi, nanti bakaln banyak penulis yang protes! Loh tulisan-tulisan mereka sangat berguna. Tidak seperti yang kamu sebutkan tadi, hasil dari itu biasanya sesuatu yang kotor. Ah, kamu bikin maslah saja." kali ini perempuan cantik di ujung satunya menyela. Saya jadi gugup.
"E...ehh...." saya berpikir sejenak. Karena memang inikan teorinya Kang Divan. Sial... kenapa saya ngikutin teori ini. "..... ee... begini Mbak.... siapa bilang hasil dari ekskresi itu tidak berguna? Buktinya itukan bisa dijadikan pupuk. Betul? Dan masih banyak lagi manfaatnya." Hhhhaaa.... saya dapet cara ngeles-nya.

Oke, sekarang kita menuju poin pentingnya.

Dari perumpamaan tadi, sebenarnya saya ingin menyampaikan bahwa menulis itu membutuhkan sebuah inputan. Jika tidak ada inputan maka yang terjadi adalah dia tidak jadi menulis, atau tulisan akan terlihat hambar, kering, gak berasa. 

Maka untuk menelurkan tulisan, kita harus membeli seekor ayam... Maaf, saya ulangi,,

Maka untuk menelurkan tulisan, kita harus membuat otak kita penuh dengan informasi, data, fakta, pengalaman, dan lain sebagainya. Di samping itu, untuk membuat tulisan tidak kering, inputan-inputan berupa informasi tadi harus disirami dengan air keimanan. Jika niatan kita menulis adalah untuk merubah peradaban rusak ini menjadi peradaban islami, maka kita wajib mengisi ruh-ruh keislaman dalam tulisan kita. 

Sehingga selain dengan membaca banyak buku, membuat riset, mencatat pengalaman menarik kita juga harus selalu meningkatkan kuantitas dan kualitas ibadah kita. Mulai dari sholat wajib maupun sunnah, membaca dan mentadabburi al-qur'an, berakhlaq mulia, aktif dalam dakwah, dan lain sebagainya.

InsyaAllah dengan demikian, selain produktif dalam menulis, tulisan kita juga akan memiliki ruh yang menggetarkan jiwa para pembacanya.
*prok....prok..prokk....* terdengar suara riuh tepuk tangan dri segala sudut ruangan. Lantas peserta yang duduknya di depan langsung berdiri menyalami saya. Wah saya jadi ke-GeEr-an. Sampai ada yang ngajakin foto bareng. Hemmm....


Oke sekian.
Tapi perlu kalian tahu, cerita di atas cuma fiktif. Iya... cuma khayalan saya aja. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Garis Misterius

Anggap saja dihadapan kita ada sebuah papan tulis, di tangan kita spidol merek ternama memaksa kita untuk menggambar sebuah garis panjang di depan. Garis tersebut memanjang mulai ujung papan sebelah kiri hingga ujung sebelah kanan. Jika diukur, menggunakan pengukur yang ada di meja, menunjukkan angka satu meter. Lagi-lagi tangan kita terpaksa membagi garis panjang tersebut menjadi tiga bagian. Bagian pertama dan ketiga hampir sama panjanganya. Namun, tangan kita membuat bagian yang kedua, yang berada di tengah lebih kecil. Bahkan sangat kecil dibanding yang lain. "Tahukah kalian?" tiba-tiba suara muncul. Reaksi kita tentu kaget. Lah, bagaimana tidak, persepsi kita pasti kalau ada suara tanpa ada sumber suara berarti itu... "Tahukah kalian?" lagi-lagi muncul. "Ehh, enggak. Enggak tahu," anggap saja kita menjawab demikian. "Garis di papan itu adalah garis waktu." "Eh. Eh,,, iya, " anggap saja kita akting gu

Seperti Ali dan Fatimah

hai terima kasih udah mendengarkan dan sabar ya, dia gak akan kemana-mana kok, yang udah dituliskan di tinta-Nya, pasti akan ketemu, meskipun kamu sekarang keesepian, melihat teman2 udah gak sendirian, tapi kamu hebat kok, bisa menjaga cuma untuk yang halal nanti, sabar ya, tapi semesta tau, kalo kamu pengen banget diperhatiin, disayangin, dimanjain, ngeliat temen lain udah pada dapat itu, gapapa kok, bertahan aja, gak usah iri, apalagi sama pasangan yg belum halal, ohya, kamu tau kisah cinta palng romantis beberapa abad yg lalu? mereka berdua sama-sama bersabar, menahan rasa yg terus membuncah, padahal rasa itu tumbuh udah mulai kecil,

1.1.a.6. Demonstrasi Kontekstual - Modul 1.1

 Bismillah walhamdulillah, washolatuwassalamu ala rosulillah, Kali ini saya akan share hasil pengerjaan tugas saya sebagai Calon Guru Penggerak Angkatan 8. Pada modul 1.1. Demonstrasi Kontekstual. Saya membuat karya infografis terkait pemikiran Ki Hajar Dewantara. Salah satu poin yang dibahas adalah tentang "Pendidikan yang berpihak pada murid."