“Siapakah kalian ini?” tanya
Rasul setelah saling bertatap muka.
“Kami orang-orang dari Khazraj,”
jawab mereka.
“Sekutu orang-orang Yahudi?”
tanya Rasul.
“Benar,”
“Maukah kalian duduk-duduk agar
bisa berbincang-bincang dengan kalian?”
“Baiklah.”
Sehingga terdapat tujuh orang
dalam perbincangan tersebut termasuk Rasulullah di Aqabah, Mina. Diantaranya
ada As’ad bin Zurarah, Auf bin Al Harits, Rafi’ bin Malik, Quthbah bin Amir,
Uqbah bin Amir, Jabir bin Abdullah. Mereka menikmati perbincangan yang cukup
indah dengan lantunan ayat-ayat Al-Qur’an yang dibacakan Rasulullah.
Menjelaskan hakikat Islam, dakwah dan mengajak mereka mendekat kepada Allah dan
tidak menyekutukan apapun denganNya.
Langit meyaksikan mereka,
bebatuan, dan bukit Aqabah jadi saksi di tengah heningnya malam. Memang keadaan
ketika itu Rasulullah mengalami tekanan yang begitu kuat dari penduduk Mekkah
terhadap dakwahnya sehingga beliau membuat strategi berdakwah kepada kabilah-kabilah
pada malam hari. Di malam tersebut juga Rasul sempat pergi bersama Abu Bakar
dan Ali untuk berdakwah ke perkampunang Dzuhl dan Syaiban.
“Demi Allah, kalian tahu sendiri
bahwa memang dia benar-benar seorang nabi seperti apa yang dikatakan
orang-orang Yahudi. Jangalah mereka mendahului kalian. Oleh karena itu
segeralah memenuhi seruannya dan masuklah Islam!” itulah kalimat yang terucap
dari mulut keenam orang yang berasal dari Yastrib setelah lama berdiskusi
dengan Rasulullah.
“Kami tidak akan membiarkan kaum
kami dan kaum yang lain terus bermusuhan dan berbuat jahat. Semoga Allah menyatukan
mereka dengan engkau. Kami akan menawarkan agama yang telah kami peluk ini.
Jika Allah menyatukan mereka, maka tidak ada orang yang lebih mulia selain daripada
diri engkau,” itulah janji mereka. Menyebarkan risalah Islam kepada penduduk
Madinah. Sehingga tak ada satu rumah pun di Madinah melainkan sudah menyebut
nama Rasulullah Shallallahu Alaihi wa
Sallam.
Inilah titik awal peristiwa sebelum
Baiat Aqabah pertama.
***
Estafet dakwah berhasil
dilanjutkan berkat keenam orang yang mulia tadi. Beberapa saat setelah masuk
Islam, mereka sudah berjanji mendakwahkannya di tempat asalnya Madinah.
Sehingga menimbulkan opini umum di tengah masyarakat madinah perihal Islam dan
ke-Rasul-an Muhammad SAW.
Dari enam orang, di musim haji
berikutnya setelah peristiwa pertama di bukit aqabah itu datang kembali dua
belas orang yang ingin berjumpa langsung dengan Rasulullah SAW. Lima orang di
antara mereka adalah orang yang sebelumnya sudah bertemu Rasulullah. Sedangkan
tujuh orang yang lain adalah orang yang berhasil dibawa oleh mereka. Diantaranya
mereka adalah Mu’adz bin Al Harits, Dzakwan bin Abdul Qais, Ubadah bin
Ash-Shamit, Yazin bin Tsa’labah, Al-Abbas bin Ubadah, Abul Haritsam bin
At-Taihan, Uwaim bin Sa’idah.
Mereka mengadakan pertemuan
kembali di tempat yang sama yaitu di Aqabah di Mina. Dan kedua belas orang ini
mengucapkan bai’at (janji setia) kepada Rasulullah. Marilah kita mendengar
kalimat ba’iat yang dituturkan oleh Ubadah bin Ash-Shamit yang berhasil diriwayatkan
oleh Ulama’ mulia kita Al-Bukhari,
“Kemarilah dan berbaiatlah kalian
kepadaku untuk tidak menyekutukan sesuatu pun dengan Allah, tidak mencuri, tidak
berzina, tidak membunuh anak-anak sendiri, tidak akan berbuat dusta yang kalian
ada adakan antara tangan dan kaki kalian, tidak mendurkahai dalam urusan yang
baik. Barang siapa di antara kalian yang menepatinya, maka pahala ada pada Allah.
Barang siapa mengambil sesuatu dari yang demikian ini, lalu dia disiksa di
dunia, maka itu merupakan ampunan dosa baginya, dan barang siapa mengambil
sesuatu dari yang demikian itu lalu Allah menutupinya, maka urusannya terserah Allah.
Jika menghendaki Dia menyiksanya dan jika menghendaki Dia akan mengampuninya.”
Lalu aku (Ubadah bin Ash-Shamit) pun berba’iat kepada beliau.
Bai’at inilah sejarah mencatat
dengan sebutan “Bai’at Aqabah Pertama”.
Setelah bai’at selesai dan musim
haji selesai, Rasulullah mengutus salah satu sahabat terbaiknya. Yang paling
baik parasnya, tajam lisannya, dan pandai membaca yaitu Mush’ab bin Umair.
Beliau diutus untuk pergi ke Madinah bersama para kabilah tadi untuk
menyebarkan Islam, mengajarkan syariat-syariat Islam dan pengetahuan agama kepada
Muslim dan non Muslim serta beberapa
penduduk yang masih musyrik di sana.
Sesampainya di Madinah,
keberhasilan Mush’ab bin Umair dalam menyebarkan risalah Islam kian hari kian
terlihat. Beliau di sana tinggal di rumah As’ad bin Zurarah, lalu mereka
menjadi rekan dakwah Islam yang begitu semangat dan bersungguh-sungguh
menyampaikan risalah agung ini.
Akhirnya sebelum tiba musim haji
tahun ketiga belas setelah nubuwah, Mush’ab memutuskan untuk kembali ke Mekkah
guna mengabarkan keberhasilannya. Hingga saat itu seluruh kampung dari
perkampungan-perkampungan Anshar di dalamnya sejumlah laki-laki dan wanita
sudah masuk Islam berkat usaha Mus’ab. Terkecuali beberapa kampung yang belum
dibukakan hatinya oleh Allah, yaitu perkampungan Bani Umayyah bin Zaid, Khatmah,
dan Wa’il. Di antara mereka ada Qais bin Al-Aslat, seorang penyair yang sangat
dipuja dan dihormati dikampungnya. Sehingga membuat penduduk kampung sulit
menerima Islam dikarenakan halangan Qais bin Al-Aslat ini. Selain itu mayoritas
penduduk Yastrib (Madinah) sudah menerima Islam, siap melindungi Islam dengan
seluruh kekuatannya.
***
Estafet dakwah terus berkembang.
Dari enam menjadi dua belas, dari dua belas bersama Mush’ab menjadi tujuh puluh
tiga orang laki-laki dan dua wanita. Ke tujuh puluh lima orang ini kembali
berkumpul di bukit penuh sejarah itu, Aqabah.
Sejarah mencatat kejadian besar
ini, yang merupakan titik tolak dakwah Rasulullah yang cukup menyejarah,
menyebutnya sebagai Bai’at Aqabah kedua.
Semua berkumpul di sana, berjanji
beberapa hal kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam. Mari kembali kita
simak riwayat yang ditulis ulama’ kita yang mulia, Al-Imam Ahmad. Beliau
meriwayatkan masalah ini secara rinci dari Jabir, dia berkata, “Kami berkata, ‘Wahai
Rasulullah, untuk hal apa kami berbaiat kepada engkau?”
Inilah Klausul baiat yang
disampaikan Rasulullah :
1.
Untuk mendengar dan ta’at tatkala bersemangat
dan malas.
2.
Untuk menafkahkan harta tatkala sulit dan mudah.
3.
Untuk menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah
dari yang mungkar.
4.
Untuk berjuang karena Allah dan tidak merisaukan
celaan orang yang suka mencela.
5.
Hendaklah kalian menolong jika aku datang kepada
kalian, melindungiku sebagaimana kalian melindungi diri, istri, dan anak-anak
kalian, dan bagi kalian adalah surga.[1]
Setelah penetapan klausul-klausul
ba’iat oleh Rasulullah, kemudian para sahabat segera melaksanakan ba’iat.
Pertama ba’iat dilaksanakan secara khusus kepada pemuka-pemuka agama bagi
orang-orang yang menyatakan bai’at tersebut. Kemudian baru ba’iat dilakukan
secara umum oleh semua orang laki-laki kepada Rasulullah. Jabir menuturkan, “Lalu
kami yang laki-laki bangkit menghampiri beliau secara bergiliran, lalu beliau
membaiat kami dan berjanji akan meberikan surga kepada kami.” Sedangkan yang wanita cukup dengan perkataan.
Begitulah kejadian ringkas
bagaimana terjadinya Baiat Aqabah Kedua yang juga dikenal dengan Baiat Aqabah
Kubra.Baiat ini mencerminkan kecintaan yang begitu mendalam dari
saudara-saudara sesama muslim di Madinah yang begitu perih melihat penderitaan
para mukmin di Mekkah. Rasa cinta ini benar-benar merasuk dalam jiwa dan hati
mereka, sehingga menimbulkan kekuatan tersembunyi, kepercayaan yang mendalam,
keberanian yang kuat, dan keteguhan baja meniti jalan ini. Perasaan ini tumbuh
murni karena dorongan iman kepada Allah, Rasul, dan kitabNya. Iman inilah yang
tidak akan pudar meskipun cobaan dan kezholiman musuh-musuh membuat mereka tak
bisa berdiri lagi. Dengan iman inilah Muslim mampu menorehkan kehebatan dalam
zaman dan mencatat sejarah-sejarah penting dalam masa-masa kegemilangan muslim
selanjutnya.
Baiat ini juga menunjukkan bagaimana titik tolak dakwah
Rasulullah dari fase Mekkah ke fase Madinah. Dari fase Mekkah yang hanya
terdiri atas kelompok-kelompok dakwah yang dipimpin Rasulullah hingga akhirnya
menawarkan Islam ke penduduk Madinah yang kemudian diterima dengan baik. Hingga
tercapainya tahap dimana Rasulullah dan Islamnya selalu menjadi pembicaraan di
setiap orang, setiap waktu, setiap tempat hingga ke sudut-sudut perkampungan
kota Madinah. Selanjutnya para pimpinan-pimpinan kabilah akhirnya menawarkan
akan memberi perlindungan kepada Rasulullah SAW dengan segenap jiwa dan diri
mereka. Melindungi Islam dan RasulNya. Membuktikan iman dan cintanya terhadap
Islam dan dakwah. Hingga akhirnya, Rasulullah SAW mendirikan daulah Islam di
Madinah dengan pertolongan Allah dan perlindungan para pemimpin kabilah tadi.
Wallahu ‘alam bishawab.
Referensi : Sirah Nabawiyah
oleh Syaikh Shafiyyurrahman Al-Mubarakfuri
*Alhamdulillah tulisan ini dimuat di Islampos.com >> http://t.co/N4e1KmrvIV
Komentar
Posting Komentar