Ku buka pintu rumah. Semerbak angin pagi berhembus menelisik raga. Sehirup udara pagi kau tak akan tau betapa berharganya ini.
Cahaya mentari menyelinap masuk melalui jendela-jendela yang terbuka. Mengusir kegelapan membawa cahaya harapan.
Ah Pagi, kau selalu membuat harapan bahwa hari ini akan lebih baik dari sebelumnya.
Ditemani musik depapepe yang mengalir dari winamp menuju ke telinga saya melalui sebuah headset putih ku coba kembali mengisi kekosongan di blog ini. Sedikit bingung dengan apa yang mau dituliskan, tapi biarlah jemari ini mengalir mengikuti iramanya. Saya tak akan terperdaya lagi dengan kemalasan, karena menulis harus sudah menjadi sebuah habits baru. Sebuah kebiasaan yang seharusnya terbentuk. Bagaimanapun padatnya agenda, bagaimanapun penatnya kepala, pun juga seberapa kerasnya halangan, Ya Sang Pemilik Kekuatan berilah hamba keteguhan, izinkanlah hamba tuk terus berlatih, hancurkanlah segala halangan dan rintangan yang menghambat, besarkanlah hamba sehingga maupun mendobrak segala hambatan.
Setidaknya pagi di sini masih bisa dinikmati dengan keindahan dan kedamaian. Jika saja kita pergi melompat pulau, melintasi sekat negara, pagi di sana tak akan seindah ini.
Pagi di sana biasa diisi oleh bom-bom tragis, tentara-tentara beringas, tank-tank berbesi, hingga buldozer penghancur rumah-rumah yang tak berhati. Di saat pagi di sini oleh senyum-senyum damai melihat anak-anak bermain ayunan di halaman rumah dan sekolah, pagi di sana banyak yang berteriak karena anak-anak ‘bermain-main’ dengan tembakan peluru para tentara.
Malam di sini ketika semua tertidur lelap berdo’a hari esok akan lebih baik, malam di sana berbeda. Malam berarti saatnya siaga, bersembunyi di lorong-lorong tanah yang mereka buat sendiri agar harap rudal tak bisa menembusnya. Saat lampu menyala dengan gemerlapnya menghiasi malam di sini, justru api-api berkobar membakar rumah-rumah yang meramaikan malam-malam di sana.
Di sini kita tak akan melihat anak-anak dibunuh layaknya binatang buruan atau para ibu-ibu wanita hamil secara paksa dikeluarkan janinnya hanya karena bayi-bayi itu berjenis kelamin laki-laki.
Mereka berencana, mereka tau, bahwa itu sangat berbahaya bagi eksistensinya. Karena lima belas tahun ke depan para anak dan bayi laki-laki itu bisa menjadi ancaman bagi mereka. Mereka akan berubah menjadi mujahid yang tak kenal takut kecuali hanya pada Allah semata.
Jeni Ali Husain Fuquha bersaudara dengan Masah Ali Husain. Masing-masing memiliki selisih umur satu tahun. Usia mereka berturut-turu lima dan enam tahun. Usia mereka habis seketika itu juga saat jeep militer Zionis menginjak tubuh mereka di salah satu area perkebunan Ratam Jarar.
Raed Abu Hamad, pemuda 27 tahun yang ditangkap dipenjara di Seba meninggal di dalam ruangan isolasi karena penyiksaan brutal oleh interogator Yahudi itu.
Ahmad Sulaiman Salim, peluru tentara itupun mengenai tubuh mudanya yang masih berusia 19 tahun karena melakukan aksi damai memprotes pembangunan pagar pengaman.
Saat Yahudi menyerobot masuk ke rumah Hafid Mashum, mereka pun melemparkan pemiliknya dari lantai tiga rumahnya hingga akhirnya meninggal setelah melalui kondisi kritis.
Angka 285 adalah angka yang dicapai untuk sebuah jumlah warga yang ditangkap, ratusan lainnya pun ditangkap pula setiap bulannya. Penjara-penjara Israel bahkan tak bisa menampung tawanan Palestina ini.
Agaknya itulah yang disampaikan dalam buku yang akhir-akhir ini baru saja saya tamatkan. The Khilafa’ sebuah novel dengan beberapa fakta di dalamnya. Novel yang menceritakan kehidupan di Palestina. Novel yang memasukkan tokoh-tokoh fiksi (Bumi misalnya sebagai pemeran utamanya di sini) tapi tetap menguakkan fakta-fakta sebenarnya tentang kejadian yang terjadi di sana.
Diceritakan bagaimana Israel yang ingin menjatuhkan Masjid Al-Aqsha’ karena ingin membangun Haikal Sulaiman sebagai janji yang terdapat dalam kitabnya. Pun juga bagaimana cerita saudara-saudara muslim di sana yang berusaha mempertahankannya.
Ini merupakan cetak biru perjuangan Israel. Segala upaya harus mereka kerahkan agar bangunan itu bisa berdiri. Karena itu upaya damai yang seringkali digaungkan oleh barat, Uni eropa, Liga Arab hanyalah untuk mengulur-ulur waktu agar rencana mereka berjalan dengan tepat dan akurat. Mereka menunggu momen-momen yang tepat. Menunggu rampungnya batu-batu pembangunan dan runtuhnya Masjid Kiblat itu.
Mereka melakukan segala upaya untuk mempersiapkannya dan mencegah apa-apa yang kemungkinan akan menjadi penghalang, salah satunya umat islam. Propaganda-propagandan mereka buat, pembantaian-pembantaian yang tak terekam media mereka olah, politik adu domba sesama umat muslim pun tak elak dari salah satu agenda mereka.
Ah, sudah saatnya kita tak digaungkan oleh fanatisme kelompok, karena musuh besar kita adalah mereka. Kita membutuhkan seorang pemimpin yang melindungi kita. Sebuah perisai umat. Pun juga sebuah tatanan sistem yang mempunyai kemampuan sistemik menjaga keutuhan umat islam. Dan Allah pun bersama kita!!!
Komentar
Posting Komentar