Hari itu, tak pernah kusangka akan mengubah semua cerita hidupku yang sudah kutulis dalam kumpulan dan lembaran mimpi. Mimpi yang sungguh tersimpan dalam benak hati, yang mungkin bisa sedikit membayar segala kebaikan yang tak terhingga itu. Mimpi yang bisa mengukir senyuman yang tulus dari wajahnya. Mimpi yang bisa mewakili semua rasa terima kasih dan bangga akan yang pernah kudapat darinya. Dan semua itu, sirna tanpa bekas seketika itu juga.
Hancur, remuk, redam. Tak dapat dibayangkan kepingan-kepingan hati yang tercerai berai jatuh berantakan di lantai yang basah, basah akan wujud fisik dari rasa kekecewaan mendalam. Tak bisa kuberpikir lagi saat itu, yang ada hanyalah rasa ketidakpercayaan akan hal yang terjadi tepat didepan kedua mataku.
Sosok yang tak pernah tergantikan. Sosok yang selalu ada saat semua hilang. Sosok yang selalu mengajari apa arti kuat itu sebenarnya. Sosok yang membuat bangkit keseribukalinya setelah ku terjatuh keseribukalinya.
Sakit ku pendam rasanya saat itu. Seketika mengeluap dengan dahsyatnya ku teriakkan suara isak tangis tak tertahankan itu. Ku lampiaskan semua yang ada dan bergejolak meluap-luap dalam dada ini. “kenapa?? Kenapa ?? kenapa sekarang?? Apa tidak bisa ditunda lagi??”,
Seketika itu juga ku goyang-goyang tubuhnya, tubuh, jiwa, raga yang selama ini menjagaku mulai ku tak bisa berbicara, tak bisa berjalan, tak bisa melakukan apa-apa sendiri kini terbaring kaku tak merespon apa yang meluap-luap dalam dada yang sesak ini.
Semua terlihat nyata. Beliau sudah terlebih dahulu dan tak sabar bertemu dengan-Nya. Tak ada lagi yang bisa kuperbuat. Setelah sekian kali ku goncang-goncang tubuhnya hingga seseorang berkata “ Sudah, sudah,”. Oke, sudah. Beralih ku lampiaskan perasaan ini, terlihat olehku, benda tak berdaya didepan mata. Ku pukul, ku lampiaskan semuanya, tanpa sadar, kepalaku juga ikut melampiaskan kekesalan ini. Ku benturkan berkali-kali kepalaku sambil terisak-isak ku coba keluarkan semuanya. Semua yang meronta-ronta dalam dada yang sudah sesak ini.
“Sudah, sudah, mungkin Allah lebih sayang, makanya dipanggil duluan”
Oke, kucoba berdiri, tegap, meskipun sulit. Kupandangi sekitar ku. Astaga, aku harus terlihat tegar dan kuat di depan mereka. Dua orang bocah yang akan mengalami status sama dengan ku, tapi bedanya mereka justru lebih muda dariku, lebih sedikit waktu-waktu mereka dengan mama dan ayah, seharusnya aku, seharusnya aku bisa menenangkan mereka bukan malah yang merengek-rengek seperti aku lebih muda dari dua bocah itu. “Ayo kuatlah, tidak boleh seperti ini!”, teriak hatiku.
Perlahan tapi pasti, ku dekati mereka, ku duduk disamping mereka, mencoba menguatkan diri yang telah hancur ini sambil berkata, “sudah, tenang masih ada aku dan yang lain, masih banyak yang sayang kamu”. Wow, itu kata-kata terhebat dan termunafik yang ku keluarkan saat itu, padahal aku sendiri tidak kuat mengadapinya.
***
Hancur, remuk, redam. Tak dapat dibayangkan kepingan-kepingan hati yang tercerai berai jatuh berantakan di lantai yang basah, basah akan wujud fisik dari rasa kekecewaan mendalam. Tak bisa kuberpikir lagi saat itu, yang ada hanyalah rasa ketidakpercayaan akan hal yang terjadi tepat didepan kedua mataku.
Sosok yang tak pernah tergantikan. Sosok yang selalu ada saat semua hilang. Sosok yang selalu mengajari apa arti kuat itu sebenarnya. Sosok yang membuat bangkit keseribukalinya setelah ku terjatuh keseribukalinya.
Sakit ku pendam rasanya saat itu. Seketika mengeluap dengan dahsyatnya ku teriakkan suara isak tangis tak tertahankan itu. Ku lampiaskan semua yang ada dan bergejolak meluap-luap dalam dada ini. “kenapa?? Kenapa ?? kenapa sekarang?? Apa tidak bisa ditunda lagi??”,
Seketika itu juga ku goyang-goyang tubuhnya, tubuh, jiwa, raga yang selama ini menjagaku mulai ku tak bisa berbicara, tak bisa berjalan, tak bisa melakukan apa-apa sendiri kini terbaring kaku tak merespon apa yang meluap-luap dalam dada yang sesak ini.
Semua terlihat nyata. Beliau sudah terlebih dahulu dan tak sabar bertemu dengan-Nya. Tak ada lagi yang bisa kuperbuat. Setelah sekian kali ku goncang-goncang tubuhnya hingga seseorang berkata “ Sudah, sudah,”. Oke, sudah. Beralih ku lampiaskan perasaan ini, terlihat olehku, benda tak berdaya didepan mata. Ku pukul, ku lampiaskan semuanya, tanpa sadar, kepalaku juga ikut melampiaskan kekesalan ini. Ku benturkan berkali-kali kepalaku sambil terisak-isak ku coba keluarkan semuanya. Semua yang meronta-ronta dalam dada yang sudah sesak ini.
“Sudah, sudah, mungkin Allah lebih sayang, makanya dipanggil duluan”
Oke, kucoba berdiri, tegap, meskipun sulit. Kupandangi sekitar ku. Astaga, aku harus terlihat tegar dan kuat di depan mereka. Dua orang bocah yang akan mengalami status sama dengan ku, tapi bedanya mereka justru lebih muda dariku, lebih sedikit waktu-waktu mereka dengan mama dan ayah, seharusnya aku, seharusnya aku bisa menenangkan mereka bukan malah yang merengek-rengek seperti aku lebih muda dari dua bocah itu. “Ayo kuatlah, tidak boleh seperti ini!”, teriak hatiku.
Perlahan tapi pasti, ku dekati mereka, ku duduk disamping mereka, mencoba menguatkan diri yang telah hancur ini sambil berkata, “sudah, tenang masih ada aku dan yang lain, masih banyak yang sayang kamu”. Wow, itu kata-kata terhebat dan termunafik yang ku keluarkan saat itu, padahal aku sendiri tidak kuat mengadapinya.
***
Komentar
Posting Komentar