Di pagi yang dingin menusuk tulang belulang, izinkan saya membuka kembali potongan-potongan puzzle kehidupan. Yang membuat jiwa dan raga merindu.
Di pagi yang sehabis malam terguyur rintikan hujan. Yang resonansi darinya membuat seseorang kembali mengingat memori-memorinya di masa lalu. Dari potongan-potongan itulah diri ini mendaki, menjajak tapak-tapak kehidupan yang mengahadang di depan.
Saya, merindu. Ketika dulu tiap pertemuan mingguan itu, saya mendapat perhatian lebih dengan tekanan. “Gimana tahajudnya minggu ini? Gimana sholat jama’ahnya di masjid minggu ini? Gimana tilawahnya sudah berapa lembar? Ayo setor hafalannya!!” Jika tak sesuai target, jadilah bulan-bulanan target ceramah beliau. Iya, saya merindu.
Saya, merindu. Ketika dulu, ketika agenda-agenda dakwah saya mulai terseok-seok. Terlepas dari target-target. Tiap pertemuan mingguan itu, “Gimana kabar program kerjanya akhi?” Lalu ku jawab, dengan jujur, malu-malu karena alasan tak syar’i –nya, terbata-bata menjelaskan. “Antum seharusnya begini…begini…” masukan dan petuah-petuah tersiram segar ke dalam hati. Iya, saya merindu.
Saya, merindu. Ketika dulu saya berada di bawah. Dalam jurang down-nya keimanan. Teman-teman seperjuangan selalu merangkul. Menarik dari jurang, membuat jalan dakian terkesan nyaman. Hingga akhirnya ku berdiri gagah kembali di atas tebing keimanan. “Malam ini mabit ya…” kata mereka. Ah, sempat saya menolak, namun ajakan mereka lebih dahsyat dari trik-trik hipnotis. Saya terdorong dengan kalimat motivasinya, saya terdorong dengan guyonan mereka. Iya, saya merindu.
Saya, merindu. Benar kata para orang-orang terdahulu. Kata para-para pujangga rindu. Bahwa rindu hadir ketika kita tak lagi bertemu. Iya, saya merindu sejak saya memilih jalan yang lain. Jalan yang sesuai dan cocok dengan pemikiran saya. Meskipun banyak sekali bagian-bagian kerinduan tadi yang selalu menguak, meluap. Iya, saya merindu.
Ah… Itulah rindu yang saya pikirkan saat tadi malam menerjang hujan. Pulang dari pertemuan mingguan yang cukup berbeda. Mengendarai sepeda motor memecah keheningan malam. Menabrakkan wajah kepada rintik-rintik hujan. Saat-saat seperti itu, pikiran saya terbiasa melayang-layang.
Saya, pun merindu. Ketika dulu. Sesosok lelaki gagah yang selalu setia membangunkan shubuh anak ingusan nan bandel. Banyak sekali trik membangunkannya. Mulai dari memijat kaki dibarengi dengan panggilan-panggilan. Juga dengan mengusapkan air wudhu ke wajah. Saya menyebut lelaki gagah nan perhatian itu dengan sebutan ayah. Iya, beliau yang selalu mengajarkan betapa pentingnya memegang diin ini kuat-kuat ketika zaman sudah mulai berubah kepada kerusakan. Beliau pun yang memaksa dulu tuk memasukkan saya ke pesantren selepas sekolah SD, namun dengan kebandelan anak bocah ingusan itu akhirnya tidak jadi. SMP lah tujuan selanjutnya, namun dengan syarat harus tetap mengaji dengan salah satu guru di kampung saya dulu. “Oke!” kataku. Iya, saya merindu.
Saya, pun merindu. Ketika dulu. Sesosok perempuan cantik nan tegar. Selalu setia menasihati, setia memasang telinga mendengar segala curahan hati. Mengajarkan bagaimana mengurus rumah, mengajarkan bagaimana selalu memanfaatkan waktu. “Jangan entar-entar! Ayo kerjakan sekarang!” hei… saya masih ingat intonasi suaranya. Beliau pun juga mengajarkan bagaimana hidup dengan tegar melalui berbagai macam cobaan. Karena sejatinya cobaan adalah sebuah ujian dari Yang Maha Kuasa tuk menilai apakah kita cocok naik ke level berikutnya. Iya, saya merindu.
Saya, pun merindu. Ketika dulu berbicang di tengah rumah. Tiap malam menonton acara televisi kesukaan keluarga. Namun terkadang tiga bocah ingusan ini sering berebut remote. Yang satu dapat, yang lain marah. Ah, suasana itu sangat asyik. Sekarang tak bisa ditemukan lagi, meskipun kami bertiga masih bisa melakukannya namun tetap berbeda sensasinya. Iya, saya merindu.
Dan hari ini, tanggal 22 Desember 2013, katanya adalah hari Ibu. Maka biarlah saya mengabadikan kerinduan ini dalam bentuk tulisan yang terukir di sini. Tepat di hari Ibu. Tepat ketika beranda-beranda media sosial saya banyak terlihat acara-acara menyambut hari ibu ini dengan sungguh luar biasa. Beberapa organisasi membuat acara-acara yang mengembalikan citra para ibu yaitu sebagai tiang negara. Pondasi utama membangun khoiru ummah. Karena perannya sebagai pendidik pertama anak dalam rumah tangga.
Maka untuk kita, anak yang masih merindu ibunya. Berbuat terbaiklah untuk mereka. Sungguh sangat benar ketika pepatah mengatakan, “surga di bawah telapak kaki ibu.” Renungi dan resapi.
Komentar
Posting Komentar