Langsung ke konten utama

Part #2

ruang-kerja-dahlan-iskan (1)

Gedungnya cukup mewah. Setidaknya tiga kali bahkan lima kali lebih besar dari rumah sederhana yang ku punya.

Kami masuk melalui pintu depan. Ya lumayan sedikit terbantu dengan terbukanya pintu otomatis. Kalau saja nenek juga ikut, ia pasti akan kaget dan berkicau tak jelas. Bingung kenapa pintu bisa dengan sendirinya terbuka dan menutup.

Mata menyapu melihat desain interior gedung. Begitu masuk ke dalam gedung, kami disambut dengan susunan sofa yang begitu rapi. Ia tersusun di depan meja recepsionis yang sedang dijaga oleh dua wanita yang berparas cantik. Di pojok-pojok area itu kami menemukan pot-pot bunga yang sekilas terlihat segar. Entah itu bunga asli atau bukan, setidaknya dengan melihat itu membuat kita mengurangi satu urat stress yang ada di kepala.

“Kita tunggu di sini saja. Aku coba hubungi dulu beliau,” kataku menyuruh Akbar duduk di sofa yang tersusun rapi. Aku lantas sibuk mencari-cari nomor kontak pa gubernur dan sibuk meletakkan handphone tersebut ditelinga.

“Assalamu’alaikum. Pak, maaf pak ini kami sudah di lobby,” ucapku.

“Wa’alaikumsalam. Oh ya, tunggu sepuluh menit lagi ya,” balasnya.

“Oke pak, saya tunggu.” Kembali kami menikmati pemandangan aktivitas orang-orang di lobby gedung ini. Lalu lalang beberapa orang, office boy yang sedang mengepel lantai, dan ada juga yang terburu-buru masuk dari luar lobby menuju lift.

***

“Wah, ayo-ayo silahkan masuk!” pak gubernur mempersilahkan kami.

“Assalamu’alaikum,” ucapku membalas sambutan ramah pak gubernur. Tersenyum. Kemudian perlahan masuk ke dalam ruangan. Duduk di sofa yang memang disiapkan untuk para tamu yang hendak berkunjung.

Cukup rapi. Sekali kami masuk, terasa lebih sejuk dari udara luar. Sofa yang empuk membuat kami sedikit menggenjot sofa tersebut. Meja pun rapi dengan minuman mineral tersusun di atasnya. Tak lupa bunga hias –entah asli atau hanya plastic- membuat meja kaca tersebut terlihat anggun.

“Bagaimana-bagaimana? Apa yang bisa dibantu buat teman-teman wartawan kita ini…” ucap pak gubernur membuka pembicaraan. Beliau duduk di sofa yang menghadap pintu keluar. yang memang disetting untuk diduduki oleh satu orang. Kami duduk di sofa sampingnya, kebetulan sofa tersebut menghadap meja kerja beliau. Sofa kami lebih panjang, disetting untuk diduduki oleh tiga orang.

“Begini pak,” aku memulai wawancaraku, “kami ingin menanyakan masalah proyek jalan yang di tengah kota itu. Sudah sejak enam bulan yang lalu proyek tersebut dijalankan, tapi kemajuan proyek itu tidak terlihat signifikan. Sangat lambat pak! Padahal target proyek ini selesai dalam tiga tahun kan Pak?”

“Iya. Betul sekali Pak! Sejak enam bulan lalu proyek ini kita serahkan kepada pemenang tender dari CV Surya. Mereka sedang menggarapnya dengan tetap diawasi oleh pihak kami. Sekarang mereka sedang dalam tahap pengadaan bahan-bahan material. Mudah-mudahan dalam kurun waktu satu bulan kedepan sudah rampung tahap ini. Sehingga bisa memulai tahap selanjutnya.” Ucap beliau. Kami sibuk menulis poin-poin penting di dalam buku catatan kecil kami.

“Apakah selama itu pak tahap pengadaan materialnya?” ucap Akbar memikirkan hal yang sama denganku. Setidaknya kami memiliki titik temu yang sama dalam mengorek keterangan dari orang nomor satu di daerah ini.

“Iya toh! Gak gampang mas menyediakan bahan-bahan yang bagus untuk proyek ini. Mereka mencarinya juga tidak sembarangan.” Beliau menegaskan dengan sedikit terdengar logat Jawa.

“Oh, lama juga ya Pak. Kalau menyediakan barang selama itu, selesainya kemungkinan bisa sampai saya nikah dan punya dua anak. Hahaaa..” cetus Akbar sembarang, menyinggung sekaligus mencairkan suasana.

“Hahaa.. tenang saja Mas! Masalah waktu sudah kami perhitungkan. Eh, sebentar! Mau minum apa ini?” tanya beliau menawarkan kami.

“Eh.. eh.. Gak usah repot-repot Pak…”

“Aahh… Gak repot kok,” potong beliau ramah, “Eh, kamu masih bujang ya… mau saya kenalkan sama cewek di sini?” tiba-tiba mengalihkan pembicaraan.

Ah, apa maksud beliau ini…

“Sebentar yaa,” beliau berjalan ke pintu keluar. membuka pintu dan mencari-cari salah seorang disana. Kemudian di panggil dan berbicara sebentar. Sepertinya menyuruh orang itu untuk memanggil seseorang yang lain. selesai itu beliau kembali lagi ke tempat duduk nya semula.

“Itu sudah saya panggilkan.. hhe.. Dia cantik kok, nanti bisa saya bantu kalau mau kenalan dengan dia.”

Aku semakin bingung dan tertawa kecil seadanya. Akbar pun demikian.

Sesaat kemudian terdengar suara ketukan pintu. “Iya silahkan…” ucap beliau mempersilahkan seseorang itu masuk.

“Permisi pak. Bapak memanggil saya,” ucap gadis itu. Sekarang ia terlihat jelas dengan berdiri di samping pintu seperti itu. Baju batik lengan pendek khas daerah sini menghiasi tubuhnya. Rok panjang anggun pun menyempurnakan batik yang ia kenakan. Parasnya? Menurutku lumayan. Dengan kulitnya yang putih dan rambut panjang terurai rapi membuat gadis ini sempurna di mataku. Entah dengan Akbar.

“Ohh… kamu ya… bukan..bukan.. Coba panggilkan Ibu Muna, minta bikinkan teh ya buat tiga orang.” Sambil mempersilahkan gadis itu kembali ke pekerjaannya. Lalu ia pun menutup pintu dan segera pergi.

Aku menerka-nerka apa yang mau dikatakan Pak Gubernur ini selanjutnya.

“Bagaimana tadi? Cantik kan?” ah sudah kuduga. Tadi beliau sengaja memanggil gadis itu. Dan setelah gadis itu datang, ia pun berpura-pura salah panggil orang. Setidaknya gadis itu sudah diperlihatkan kepada kami. Itu cukup bagi beliau.

“Hehehe…. Bisa saja bapak ini,” Akbar tertawa kecil. Aku tersenyum simpul.

Setelah itu kami melanjutkan pertanyaan demi pertanyaan. Sesekali pertanyaan ringan, dan sesekali pertanyaan kritis yang cukup membuat beliau agak gugup dan menjawab seadanya. Sesekali juga kami tertawa mencairkan suasana dengan pertanyaan aneh dan juga jawaban aneh dari beliau. Tidak begitu formal wawancara ini memang. Karena memang tabiat beliau yang selalu ingin akrab dengan wartawan.

“Oke, terima kasih Pak atas waktunya. Sepertinya sudah lewat dari lima belas menit dan bapak sepertinya mau mengerjakan pekerjaan lain,” aku sadar dari tadi telepon kantor bordering terus. Beliau angkat dan jawab seadanya. Lantas kembali ‘melayani’ kami lagi. Lagipula tak ada lagi pertanyaan yang mau aku ajukan, tinggal menunggu tahap-tahap selanjutnya dari pelaksanaan proyek ini.

“Oohh… tidak apa-apa. Saya senang dikunjungi wartawan surat kabar seperti kalian. Surat kabar kalian memang terkenal paling kritis dan paling lurus dalam menyampaikan berita. Sudut pandang yang diambil pun sudut pandang yang jarang dipakai oleh surat kabar lainnya. Makanya wajar jika surat kabar kalian ini paling laku keras dikalangan para intelektual,” jelas beliau memuji-muji surat kabar kami.

Kami beranjak dari sofa empuk itu menuju pintu. Sesaat setelah bersalaman sejenak, “eh.. Eh.. Tunggu.. Tunggu. Ini ada sesuatu dari saya buat kalian,” sambil memasukkan tangan yang bersisi amplop ke dalam kantong baju saya.

“Eh.. maaf pak kami tidak menerima yang seperti ini,” jawabku mengendalikan suasana.

“Sudahlah, kali ini tidak boleh ditolak. Ambil saja, hitung-hitung untuk uang rokok.”

“Jangan pak,” lantas kami bergegas keluar ruangan dengan meninggalkan amplop tadi di soffa. “Maaf Pak! Terima kasih atas wawancaranya,” sedikit berteriak menjauh sambil berlari kecil meninggalkan ruangan tadi.

 

Bersambung….

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Seperti Ali dan Fatimah

hai terima kasih udah mendengarkan dan sabar ya, dia gak akan kemana-mana kok, yang udah dituliskan di tinta-Nya, pasti akan ketemu, meskipun kamu sekarang keesepian, melihat teman2 udah gak sendirian, tapi kamu hebat kok, bisa menjaga cuma untuk yang halal nanti, sabar ya, tapi semesta tau, kalo kamu pengen banget diperhatiin, disayangin, dimanjain, ngeliat temen lain udah pada dapat itu, gapapa kok, bertahan aja, gak usah iri, apalagi sama pasangan yg belum halal, ohya, kamu tau kisah cinta palng romantis beberapa abad yg lalu? mereka berdua sama-sama bersabar, menahan rasa yg terus membuncah, padahal rasa itu tumbuh udah mulai kecil,

3.1.a.8.2. Blog Rangkuman Koneksi Antar materi - Modul 3.1

Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,  Saya Muhammad Fajri Romadhoni, S.Kom calon guru penggerak Angkatan 8 dari SMPIT Ar Rahman Kota Banjarbaru Kalimantan Selatan.  Saya ucapkan terimakasih kepada Fasilitator yaitu Bapak Subiarto, M.Pd yang telah membimbing dan senantiasa memotivasi dalam setiap tahapan belajar saya dalam menempuh Pendidikan Guru Penggerak.  Saya juga ucapkan terimakasih kepada pengajar praktik Bapak Alfian Wahyuni, S.Pdi yang selalu mendampingi dan menjadi teman berbagi baik saat menempuh Pendidikan guru penggerak maupun dalam hal lain berkenaan dengan perkembangan pendidikan.  Saya juga ucapkan terimaksih kepada rekan CGP angkatan 8 yang senantiasa berkenan berbagi dan berkolaborasi dalam setiap tahapam PGP. Saya kali ini saya akan membuat rangkuman dari proses perjalanan pembelajaran saya sampai saat ini pada program guru penggerak dengan berpedoman pada pertanyaan berikut ini. Bagaimana filosofi Ki Hajar Dewantara dengan Pratap Triloka memiliki kaitan d

Garis Misterius

Anggap saja dihadapan kita ada sebuah papan tulis, di tangan kita spidol merek ternama memaksa kita untuk menggambar sebuah garis panjang di depan. Garis tersebut memanjang mulai ujung papan sebelah kiri hingga ujung sebelah kanan. Jika diukur, menggunakan pengukur yang ada di meja, menunjukkan angka satu meter. Lagi-lagi tangan kita terpaksa membagi garis panjang tersebut menjadi tiga bagian. Bagian pertama dan ketiga hampir sama panjanganya. Namun, tangan kita membuat bagian yang kedua, yang berada di tengah lebih kecil. Bahkan sangat kecil dibanding yang lain. "Tahukah kalian?" tiba-tiba suara muncul. Reaksi kita tentu kaget. Lah, bagaimana tidak, persepsi kita pasti kalau ada suara tanpa ada sumber suara berarti itu... "Tahukah kalian?" lagi-lagi muncul. "Ehh, enggak. Enggak tahu," anggap saja kita menjawab demikian. "Garis di papan itu adalah garis waktu." "Eh. Eh,,, iya, " anggap saja kita akting gu