Langsung ke konten utama

Part #1

warung kopi

Bersama pagi, ditemani secangkir kopi hangat ku membuka hari. Seperti biasa, kami memiliki rutinitas unik setiap paginya. Menggoda acil-acil warung. Bercengkrama hingga air dalam cangkir kami habis terminum. Atau bisa juga hingga sebatang rokok yang kami hirup bersisa sekitar satu centi meter lagi dari mulut kami.

“Berita apa hari ini yang mau kau liput, Jun?” Tanya temanku.

“Kelanjutan yang kemarin Bar, tentang proyek perbaikan jalan. Proyek itu harus terus kita ikuti!” kataku menjawab pertanyaan Akbar.

“Okelah, aku ikut kau. Tapi habisian kopi ini dulu ya baru kita berangkat.”

“Siap bos!”

Akupun menyeruput sedikit demi sedikit kopi panas di atas meja kayu ini. Warung Acil ini cukup sederhana. Bangunannya hanya terdiri dari kayu-kayu yang disusun sedemikian rupa hingga membentuk sebuah gubuk kecil. Di dalamnya bersusun meja panjang mengelilingi pinggiran bangunan ini. Lengkap dengan kursi panjang menemani meja yang terbuat dari kayu. Aku duduk di sebelah Akbar mulai tadi pagi. Dua cangkir kopi kami habiskan dalam satu pagi. Di tambah pisang goreng, bakwan, dan satu ubi goreng cukup tuk mengganjal perut kami di pagi itu.

Memang sudah menjadi kebiasaan para wartawan yang bertugas di daerah ini. Setiap pagi, kita berkumpul di warung tuk sejenak bercengkrama, sarapan, menghabiskan puntung rokok, dan mendiskusikan banyak hal mengenai kehidupan kota kecil kami itu. Segala informasi mengenai kota kecil ini kami selalu punya. Dan memang harus seperti itu lah seorang wartawan, selalu terdepan dalam hal informasi. Selalu mempunyai informasi terhangat dan teraktual. Bahkan jika tidak ada, kami bisa membuatnya sendiri. Contoh saja dengan sekedar meliput warung acil ini, bisa saja kami beri judul, “Usaha kecil Acil berbuah manis.” Ah, itulah keahlian kami, mengemas hal sederhana menjadi hal yang memukau di tengah-tengah pembaca.

Sudah sekitar sepuluh tahun lebih aku bekerja menjadi wartawan di Surat Kabar Aktual Kota. Banyak sekali kejadian yang ku lewati selama menjadi wartawan. Pernah suatu ketika aku di tangkap hingga dipenjara karena tertuduh ikut dalam komplotan gembong narkoba terbesar di Indonesia. Padahal aku secara kebetulan ada di tempat kejadian karena sedang diam-diam menyelediki markas rahasia komplotan mereka. Informasinya ku dapat dari beberapa warga sekitar yang secara intens ku wawancarai sebelumnya. Sempat kesal awalnya dengan polisi yang bertindak tak tau arah itu. Masa wajah seperti aku ini dikira gembong narkoba? Haha..

Sejak kejadian itu aku menjadi tidak bergairah menjadi seorang wartawan. Pernah sekali dalam sehari itu aku tidak menyetor berita. Esoknya aku kena semprot atasan. Bukannya malah kapok, aku lakukan lagi tuk kedua kalinya. Dan lagi. Semprotan kedua menghujam deras ke arahku.

Akhirnya kawan seperjuanganku menasehati supaya tetap bertahan menjadi wartawan. “Wartawan itu memiliki peran penting dalam perubahan dunia. Setiap tulisannya dibaca minimal ratusan orang. Setiap liputan yang membongkar kebobrokan-kebobrokan negeri dan para pejabatnya bisa membuat ratusan orang sadar bagaimana wajah para pemimpin negeri ini,” begitu nasihatnya yang sampai sekarang masih terekam baik di kepalaku.

Kini aku berdiri mencengkram kuat-kuat profesi ini. Profesi yang sudah ku tanamkan dalam hati bahwa dengan inilah aku akan memberikan kontribusi untuk negeri. Aku sudah muak sekali dengan gaya-gaya parlente para pejabat pemerintah yang tiap harinya menikmati udara sejuk di ruangan kantornya. Menulis-nulis laporan, menandatangani berbagai dokumen, sok suci ketika dihadapan wartawan seperti kami. Sedangkan diluar sana masih banyak masyarakat miskin yang untuk tidur malam hari ini saja entah dimana. Bisa saja mereka berebut tempat tidur yang hanya terdiri dari beberapa petak lantai. Melawan dinginnya malam dengan mengapitkan tangan dikedua kaki. Berharap itu bisa menghapus sakitnya dingin yang menusuk tulang-tulang rusuknya. Sedangkan para pejabat tadi? Sudahlah, kita tahu mereka mungkin sedang menikmati asyiknya angin AC di hotel-hotel ternama bersama para gadis-gadis simpanannya. Ya! Negeri ini telah berubah menjadi negeri para bedebah!

“Ayo Jun! Aku sudah selesai dengan kopiku. Apa rencanamu?” tanya Akbar. Ia adalah wartawan muda yang baru saja memutuskan memilih profesi ini sebagai jalan hidupnya. Ia tahu dari segi materi, penghasilan seorang wartawan tak akan bisa mencukupi tuk memiliki rumah mewah ataupun mobil mewah. Tapi tekadnya seperti tekadku ketika muda dulu. Mengubah dunia! Bayangkan?

“Kita akan temui Pak Gubernur, Bar! Aku sudah membuat janji dengannya sejak seminggu yang lalu. Baru hari ini beliau bisa. Itupun kita hanya diberi waktu sekitar lima belas menit. Kau pasti tak kan mau ketinggalan liputan ini kan?” ucapku dengan gagah. Bagaimana tidak? Sekarang level janjianku bukan lagi dengan teman, guru, dosen, atau kepala desa. Tapi sekarang aku membuat janji dengan seorang gubernur. Spesial khusus tuk diwawancarai. Tidak kurang tidak lebih. Keren kan?

“Oke, Siap!” Akbar menutup pembicaraan kami. Sekaligus menutup sesi minum-minum dan sarapan pagi kami.

 

 

Bersambung….

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Seperti Ali dan Fatimah

hai terima kasih udah mendengarkan dan sabar ya, dia gak akan kemana-mana kok, yang udah dituliskan di tinta-Nya, pasti akan ketemu, meskipun kamu sekarang keesepian, melihat teman2 udah gak sendirian, tapi kamu hebat kok, bisa menjaga cuma untuk yang halal nanti, sabar ya, tapi semesta tau, kalo kamu pengen banget diperhatiin, disayangin, dimanjain, ngeliat temen lain udah pada dapat itu, gapapa kok, bertahan aja, gak usah iri, apalagi sama pasangan yg belum halal, ohya, kamu tau kisah cinta palng romantis beberapa abad yg lalu? mereka berdua sama-sama bersabar, menahan rasa yg terus membuncah, padahal rasa itu tumbuh udah mulai kecil,

3.1.a.8.2. Blog Rangkuman Koneksi Antar materi - Modul 3.1

Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,  Saya Muhammad Fajri Romadhoni, S.Kom calon guru penggerak Angkatan 8 dari SMPIT Ar Rahman Kota Banjarbaru Kalimantan Selatan.  Saya ucapkan terimakasih kepada Fasilitator yaitu Bapak Subiarto, M.Pd yang telah membimbing dan senantiasa memotivasi dalam setiap tahapan belajar saya dalam menempuh Pendidikan Guru Penggerak.  Saya juga ucapkan terimakasih kepada pengajar praktik Bapak Alfian Wahyuni, S.Pdi yang selalu mendampingi dan menjadi teman berbagi baik saat menempuh Pendidikan guru penggerak maupun dalam hal lain berkenaan dengan perkembangan pendidikan.  Saya juga ucapkan terimaksih kepada rekan CGP angkatan 8 yang senantiasa berkenan berbagi dan berkolaborasi dalam setiap tahapam PGP. Saya kali ini saya akan membuat rangkuman dari proses perjalanan pembelajaran saya sampai saat ini pada program guru penggerak dengan berpedoman pada pertanyaan berikut ini. Bagaimana filosofi Ki Hajar Dewantara dengan Pratap Triloka memiliki kaitan d

Garis Misterius

Anggap saja dihadapan kita ada sebuah papan tulis, di tangan kita spidol merek ternama memaksa kita untuk menggambar sebuah garis panjang di depan. Garis tersebut memanjang mulai ujung papan sebelah kiri hingga ujung sebelah kanan. Jika diukur, menggunakan pengukur yang ada di meja, menunjukkan angka satu meter. Lagi-lagi tangan kita terpaksa membagi garis panjang tersebut menjadi tiga bagian. Bagian pertama dan ketiga hampir sama panjanganya. Namun, tangan kita membuat bagian yang kedua, yang berada di tengah lebih kecil. Bahkan sangat kecil dibanding yang lain. "Tahukah kalian?" tiba-tiba suara muncul. Reaksi kita tentu kaget. Lah, bagaimana tidak, persepsi kita pasti kalau ada suara tanpa ada sumber suara berarti itu... "Tahukah kalian?" lagi-lagi muncul. "Ehh, enggak. Enggak tahu," anggap saja kita menjawab demikian. "Garis di papan itu adalah garis waktu." "Eh. Eh,,, iya, " anggap saja kita akting gu