Langsung ke konten utama

Menerjang Banjir Jakarta #1

Pukul 12.12 (waktu jam ku dikurang 1 jam sehingga jadi waktu WIB versi sendiri), ketika sudah mencelupkan kaki di banjir adzan berkumandang. Padahal niat sudah bulat buat menerjang banjir. Tapi panggilan Allah ternyata membelokkan niat kami. Akhirnya kembali ke atas, ke kamar hotel, menyulap kamar hotel menjadi seperti musholla. Kemudian kita sholat zuhur berjamaah. Mengingat sulit pergi ke mushola dekat sana karena air menggenang setinggi setengah betis.

Kalau boleh disebutkan tanpa menyembunyikan namanya, pasukan yang siap itu ada aku, shaufi, untung, diyat, arif, hendy, rustam, oki, kholis, toni (yah,,kalo ada yang belum kesebut segera sms ya,,hhe).
Oke, sholat sudah. Sekarang kami berada di tepian air banjir. Semua bersiap menggulung2 celana nya, mungkin lebih jelas lagi bisa diliat gambar berikut yang di ambil oleh salah satu potografer kami, 





Sudah liat kan? Ini batas ketinggian air yang ada di jalan depan hotel kami,



Nah itu keseriusan kami ingin menerjang banjir. Yang berbadan besar namanya arif. Gayanya dalam menerjang banjir memang luar biasa. Aku salut…

 
Jadi, setelah berhasil menelusuri jalan di setapak di depan hotel kami, sekarang kami berada di jalan besar (duh,,,aku lupa namanya jalan apa…). Nah, kami berhenti sebentar. Melihat pemandangan jalan besar yang terendam banjir. Mobil, sepeda motor, truk2 tersendat-sendat macet karena jalan yang sudah tergenang air tak bisa lagi di pakai. Hanya tersisa satu jalur saja. Itu pun jalur bus way







Nah, begitulah kondisinya. Bisa kalian liat sendiri. Kalau gambar yang terakhir itu gambar para remaja yang memanfaatkan air banjir menjadi olahraga ski air yang murah meriah.


Melihat kejadian yang seperti itu. kami segera menimbang dan memutuskan untuk menyebrang. Tentu saja menyebrang melewati jembatan penyebrangan supaya lebih keren. Lebih enak memandang tenggelamnya Jakarta. Ini aku kasih gambar2nya lagi, bagaimana kami begitu senang di atas jembatan penyebrangan





Sekedar info, kami sebenarnya keluar karena lapar. Belum makan. Jadi dengan nekat menerjang banjir. Namun, ada desas-desus keinginan untuk pergi ke Monas. Iya, ke Monas dengan jalan kaki. Itulah asiknya.


Maka ketika ketemu tukang bubur dan mie ayam setelah turun dari jembatan penyebrangan yang sepertinya terdampar di pulau halte, kami memutuskan mendarat di sana. Membeli bubur ayam beliau, sebagian yang lain membeli mie ayam. Seketika ingin nambah bubur ayamnya karena memang kelaparan, ternyata sudah habis. Maka pasukan kami yang begitu rakus berpindah hati ke gerobak mie ayam. “bang, satu mangkok lagi ya,” begitu kira-kira





Cukup kenyang, makan sambil melihat pemandangan air. Ketika mobil lewat, ombak menggulung ke arah kami, menabrak tiang-tiang, bibir trotoar dan kaki. Ah, sudah kayak di pantai lah pokoknya.


Tenaga terisi cukup lumayan dengan satu mangkuk bubur ayam plus mie ayam serta pemandangan pantai buatan. dengan bekal GPS nya arif, kami lanjutkan perjalanan. hem…melihat kota yang cukup amburadul, teringat film Resident evil, yang juga amburadul ketika manusianya menjadi zombie. Mobil-mobil datang dari arah berlawanan. Rambu-rambu lalu lintas tak lagi jadi perhatian. Yah, sperti itu lah, tapi ada sekelompok orang yang sibuk bernarsis ria dengan kejadian seperti ini. “Kapan lagi coba merasai banjir Jakarta.” Silahkan tebak siapa yang mengucapkan itu di antara foto-foto di bawah ini





Menurut GPS arif, kita harus berjalan setapak melewati sebuah pasar. Ternyata sampai di pasar pun banjir juga. Heran…sepertinya Jakarta memang benar-benar sedang tenggelam.


Di tengah perjalanan menyusuri pasar, eh ada paman-paman jual kuliner menarik. Langsung saja Rustam, si pemburu kuliner membelinya…




Tenyata setelah meliat foto, aku lupa. Arif pun tak mau kalah…


…. Bersambung …..

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Seperti Ali dan Fatimah

hai terima kasih udah mendengarkan dan sabar ya, dia gak akan kemana-mana kok, yang udah dituliskan di tinta-Nya, pasti akan ketemu, meskipun kamu sekarang keesepian, melihat teman2 udah gak sendirian, tapi kamu hebat kok, bisa menjaga cuma untuk yang halal nanti, sabar ya, tapi semesta tau, kalo kamu pengen banget diperhatiin, disayangin, dimanjain, ngeliat temen lain udah pada dapat itu, gapapa kok, bertahan aja, gak usah iri, apalagi sama pasangan yg belum halal, ohya, kamu tau kisah cinta palng romantis beberapa abad yg lalu? mereka berdua sama-sama bersabar, menahan rasa yg terus membuncah, padahal rasa itu tumbuh udah mulai kecil,

3.1.a.8.2. Blog Rangkuman Koneksi Antar materi - Modul 3.1

Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,  Saya Muhammad Fajri Romadhoni, S.Kom calon guru penggerak Angkatan 8 dari SMPIT Ar Rahman Kota Banjarbaru Kalimantan Selatan.  Saya ucapkan terimakasih kepada Fasilitator yaitu Bapak Subiarto, M.Pd yang telah membimbing dan senantiasa memotivasi dalam setiap tahapan belajar saya dalam menempuh Pendidikan Guru Penggerak.  Saya juga ucapkan terimakasih kepada pengajar praktik Bapak Alfian Wahyuni, S.Pdi yang selalu mendampingi dan menjadi teman berbagi baik saat menempuh Pendidikan guru penggerak maupun dalam hal lain berkenaan dengan perkembangan pendidikan.  Saya juga ucapkan terimaksih kepada rekan CGP angkatan 8 yang senantiasa berkenan berbagi dan berkolaborasi dalam setiap tahapam PGP. Saya kali ini saya akan membuat rangkuman dari proses perjalanan pembelajaran saya sampai saat ini pada program guru penggerak dengan berpedoman pada pertanyaan berikut ini. Bagaimana filosofi Ki Hajar Dewantara dengan Pratap Triloka memiliki kaitan d

Garis Misterius

Anggap saja dihadapan kita ada sebuah papan tulis, di tangan kita spidol merek ternama memaksa kita untuk menggambar sebuah garis panjang di depan. Garis tersebut memanjang mulai ujung papan sebelah kiri hingga ujung sebelah kanan. Jika diukur, menggunakan pengukur yang ada di meja, menunjukkan angka satu meter. Lagi-lagi tangan kita terpaksa membagi garis panjang tersebut menjadi tiga bagian. Bagian pertama dan ketiga hampir sama panjanganya. Namun, tangan kita membuat bagian yang kedua, yang berada di tengah lebih kecil. Bahkan sangat kecil dibanding yang lain. "Tahukah kalian?" tiba-tiba suara muncul. Reaksi kita tentu kaget. Lah, bagaimana tidak, persepsi kita pasti kalau ada suara tanpa ada sumber suara berarti itu... "Tahukah kalian?" lagi-lagi muncul. "Ehh, enggak. Enggak tahu," anggap saja kita menjawab demikian. "Garis di papan itu adalah garis waktu." "Eh. Eh,,, iya, " anggap saja kita akting gu