Pagi tadi, selepas sholat subuh di mushola dekat rumah saya pulang ke rumah berniat akan ziarah ke kubur ayah mamah. Sudah lama rasanya tidak ke sana, mungkin ada sekitar 2-3 bulan tidak mengunjungi. Ah, bisa dipastikan banyak rumput-rumput liar di sekitar kubur beliau. Hehe..
Sebenarnya dulu kami (saya, mujib, faiz) rutin mengunjungi kubur beliau setiap habis subuh jum’at. Shubuh berjama’ah di mushola dekat rumah ini kalau jum’at memang sedikit spesial (kayak martabak), biasanya imam menambah sholat dengan sujud sajadah, dengan surat sajadah di rakaat pertama dan kedua. Terus setelah itu zikir di jum’at subuh di mushola ini lumayan lebih panjang dari biasanya, yang paling mantep kami di suguhi kopi dan kue ‘untuk-untuk’. Lumayan lah dapet sarapan gratis.
Sampai di kubur seperti biasa kami taburkan bunga, kebetulan sudah lama tidak dikunjungi kami bersihkan rumput-rumput liar di sana setelah selesai baru kami duduk dan membaca yasiin ditutup dengan do’a. Tetap do’a yang paling spesial yaitu do’a "Allahummagh firli waliwalidaiya warhamhuma kama robba yani shoghiro.” Ya Allah Ya Tuhan kami, ampunilah dosa kedua orang tua kami, sayangilah mereka sebagaimana mereka menyayangi kami di waktu kecil”
Pulang kami melewati pasar, keadaan sudah cukup sibuk di jum’at pagi itu. Sesekali orang lalu lalang menyebrang jalan yang kami lewati. cukup sering malah, karena kondisi pasar sudah mulai ramai. Pagi, memang berkah dan rezeki berlimpah di sana-sini. Maka pantas ada yang bilang ‘jangan bangun siang, nanti rezekinya di patok ayam’. Itu dulu kata-kata Ayah ketika membangunkan subuh. Hehe..
Ya sebagai muslim patokan bangun kita sudahlah bukan karena suara ayam atau rezeki yang dipatok, tapi karena kewajiban kita ingin menunaikan sholat subuh. Inilah jam bangun seorang muslim, tak bisa diganggu gugat,
Sampai di rumah kami bersihkan diri, ganti baju dan lain-lain. Remote tivi terpicik terpampanglah kami channel tivi yang dominan dengan berita dan warna merah (apaaa yaa, haha). Headline nya “UJE meninggal”. Deegggg….sontak saya kaget, mengingat-ingat siapa UJE, bukannya ia ustadz yang masih muda itu. Lagi, mencoba menerka-nerka wajahnya, kuingat ini ustadz yang bacaan qur’annya baik, makhrojal hurufnya mantap. Teringat ketika ia mengisi acara menjelang berbuka di salah satu channel tivi, beliau memeriksa bacaan pemirsa tivi yang menelpon.
Cukup, sudah cukup memori itu. Yang pasti satu kata menggelayut di pikiran saya. “Serius??”. “Ini beneran meninggal?”. Kata-kata ketidakpercayaan.
Sudahlah, kematian memang tak pernah menyapa terlebih dahulu. Mempersilahkan kita mempersiapkan lebih dulu, bahkan memberi salam kita. Tak pernah. Ia datang ketika ketentuanNya sudah ditetapkan. Ia datang dengan sikap disiplin yang sangat tinggi. Tak pernah terlalu cepat semenit bahkan sedetik, tak pernah molor sejam, semenit, bahkan sedetik.
Yang bisa kita persiapkan hanyalah berusaha setiap detik, menit, jam yang tersisa ini seakan ini lah yang terakhir. Lakukan yang terbaik, jalankan semua kewajiban yang Allah berikan, jauhkan segala macam bentuk kemaksiatan. Sehingga ‘Andai setelah ini’ kita dipanggil olehNya, kita sedang berada dalam aktivitas menjalankan kewajibannya. ‘Andai setelah ini’ kita tercatat harus kembali kepadaNya, kita sedang tidak berada dalam kemaksiatan. Amiin.
Maka ‘Andai setelah ini’ benar-benar kita dipanggil. Kita telah sadar bahwa kematian itu tak pernah menunggu dan tak pernah dipercepat.
“Yang aku takuti bukanlah kematian. karena kematian memutuskan aku dengan duniaku. yang aku takuti adalah menyia – nyiakan waktu karena menyia-nyiakan waktu memutuskan aku dengan tuhanku. ” (nasehat Imam Syafi’i rahimahullah)
Sebenarnya dulu kami (saya, mujib, faiz) rutin mengunjungi kubur beliau setiap habis subuh jum’at. Shubuh berjama’ah di mushola dekat rumah ini kalau jum’at memang sedikit spesial (kayak martabak), biasanya imam menambah sholat dengan sujud sajadah, dengan surat sajadah di rakaat pertama dan kedua. Terus setelah itu zikir di jum’at subuh di mushola ini lumayan lebih panjang dari biasanya, yang paling mantep kami di suguhi kopi dan kue ‘untuk-untuk’. Lumayan lah dapet sarapan gratis.
Sampai di kubur seperti biasa kami taburkan bunga, kebetulan sudah lama tidak dikunjungi kami bersihkan rumput-rumput liar di sana setelah selesai baru kami duduk dan membaca yasiin ditutup dengan do’a. Tetap do’a yang paling spesial yaitu do’a "Allahummagh firli waliwalidaiya warhamhuma kama robba yani shoghiro.” Ya Allah Ya Tuhan kami, ampunilah dosa kedua orang tua kami, sayangilah mereka sebagaimana mereka menyayangi kami di waktu kecil”
Pulang kami melewati pasar, keadaan sudah cukup sibuk di jum’at pagi itu. Sesekali orang lalu lalang menyebrang jalan yang kami lewati. cukup sering malah, karena kondisi pasar sudah mulai ramai. Pagi, memang berkah dan rezeki berlimpah di sana-sini. Maka pantas ada yang bilang ‘jangan bangun siang, nanti rezekinya di patok ayam’. Itu dulu kata-kata Ayah ketika membangunkan subuh. Hehe..
Ya sebagai muslim patokan bangun kita sudahlah bukan karena suara ayam atau rezeki yang dipatok, tapi karena kewajiban kita ingin menunaikan sholat subuh. Inilah jam bangun seorang muslim, tak bisa diganggu gugat,
Sampai di rumah kami bersihkan diri, ganti baju dan lain-lain. Remote tivi terpicik terpampanglah kami channel tivi yang dominan dengan berita dan warna merah (apaaa yaa, haha). Headline nya “UJE meninggal”. Deegggg….sontak saya kaget, mengingat-ingat siapa UJE, bukannya ia ustadz yang masih muda itu. Lagi, mencoba menerka-nerka wajahnya, kuingat ini ustadz yang bacaan qur’annya baik, makhrojal hurufnya mantap. Teringat ketika ia mengisi acara menjelang berbuka di salah satu channel tivi, beliau memeriksa bacaan pemirsa tivi yang menelpon.
Cukup, sudah cukup memori itu. Yang pasti satu kata menggelayut di pikiran saya. “Serius??”. “Ini beneran meninggal?”. Kata-kata ketidakpercayaan.
Sudahlah, kematian memang tak pernah menyapa terlebih dahulu. Mempersilahkan kita mempersiapkan lebih dulu, bahkan memberi salam kita. Tak pernah. Ia datang ketika ketentuanNya sudah ditetapkan. Ia datang dengan sikap disiplin yang sangat tinggi. Tak pernah terlalu cepat semenit bahkan sedetik, tak pernah molor sejam, semenit, bahkan sedetik.
Yang bisa kita persiapkan hanyalah berusaha setiap detik, menit, jam yang tersisa ini seakan ini lah yang terakhir. Lakukan yang terbaik, jalankan semua kewajiban yang Allah berikan, jauhkan segala macam bentuk kemaksiatan. Sehingga ‘Andai setelah ini’ kita dipanggil olehNya, kita sedang berada dalam aktivitas menjalankan kewajibannya. ‘Andai setelah ini’ kita tercatat harus kembali kepadaNya, kita sedang tidak berada dalam kemaksiatan. Amiin.
Maka ‘Andai setelah ini’ benar-benar kita dipanggil. Kita telah sadar bahwa kematian itu tak pernah menunggu dan tak pernah dipercepat.
“Yang aku takuti bukanlah kematian. karena kematian memutuskan aku dengan duniaku. yang aku takuti adalah menyia – nyiakan waktu karena menyia-nyiakan waktu memutuskan aku dengan tuhanku. ” (nasehat Imam Syafi’i rahimahullah)
Komentar
Posting Komentar