Langsung ke konten utama

Kakek Jar

Pagi selalu menghadirkan jiwa-jiwa yang siap menghadapi hari. Pagi datang ketika malam kelam sudah mencapai titik ekstremnya. Pagi mempunyai cerita sendiri bagi orang-orang yang setia bangun menyambut panggilanNya ketika kantuk masih memaksa mata untuk tetap tertutup.

Aku, akupun memiliki nama yang menandakan pagi ingin bersua. Fajar. Mungkin aku lahir ketika pagi sudah bersiap ingin menampilkan sosoknya. Dan juga ketika malam sudah sangat gelap, gelap mencapai puncaknya. Fajar, hadir antara malam dan pagi. Ia hadir di tandai dengan alunan suara-suara para muadzin di masjid atau langgar-langgar terdekat. Suara yang membantu para penikmat fajar bangun menghadirkan jiwa-jiwanya untuk kembali menjumpai RabbNya.

Aku pun terbangun ketika suara muadzin menyinggung aktivitas yang sedang kulakukan, “Sholat lebih baik daripada tidur.” Lantas ku beranjak dari kasur empukku, tergopoh-gopoh berjalan ke belakang rumah. Ku sengaja membuat langkahku seberisik mungkin dengan niat supaya yang lain terbangun.
Membuka keran. Air mengucur dari sana. Ku usapkan ke muka sesuai aturan syariat, seketika mataku langsung menyala.
Seperti sebuah setruman berdaya tinggi, menyetrum tiap-tiap sarafku mulai mata hingga seluruh tubuh.

***

Selepas sholat, aku menyapa seorang kakek tua yang memang sering terlihat di mushola itu. Kebetulan nama kakek itu persis namaku, hanya saja beliau sudah memiliki nama tersebut sejak lama, nah aku baru-baru saja. Berarti bisa dibilang aku yang meniru.

Kek Jar biasa ku panggil beliau. ‘Jar’, maksudnya potongan dari nama Fajar. Dengan penampilan seadanya, memakai kain sarung berkopiah hitam serta memakai batik sudah menjadi ciri khasnya. Kira-kira cuma ada tiga macam jenis batik yang biasa beliau pakai, sehingga aku pun bisa sedikit menghafalnya. Kali ini beliau memakai batik berwarna keemasan, dengan motif sasirangan. Berkain sarung bermotif kotak-kotak yang selalu rapih beliau kenakan.

“Fajar, kau terlihat murung akhir-akhir ini. Ada masalah?” tanya Kek Jar akrab menyapaku. Kami sekarang duduk di pelataran mushola sambil menikmati sejuknya udara pagi. Sesekali aku mematah-matahkan kepala ke kiri dan ke kanan sekedar untuk meregangkan otot.

“Iya Kek. Saya lagi bingung kenapa sholat saya akhir-akhir ini sering tidak khusyuk.” ku jawab sejujurnya. Beliau memang asyik untuk dijadikan teman curhat, aku sering menceritakan hal-hal yang bersifat pribadi kepada beliau. Nasihat-nasihatnya sungguh memukau sudah seperti motivator-motivator ternama di televisi.

“Apakah kau selalu mencari kekhusyukan di setiap sholatmu?” tanya Kek Jar lagi.

“Iya,” jawabku malas.

“Kau tau Nak,” ini kata-kata pertama Kakek Jar memulai nasihat-nasihatnya, “Rasulullah diperintah untuk Isra’ dan Mi’raj ketika beliau dilanda kesedihan yang beruntun? Saat itu beliau mengalami ujian yang bertubi dari Allah. Paman yang dicintai dan melindungi da’wahnya meninggal meskipun masih belum dalam keadaan beriman. Khadijah, istri yang beliau cintai, tempat berkeluh kesah setelah seharian di caci maki oleh penduduk Makkah karena menyebarkan risalah Islam juga meninggal. Sahabat-sahabat banyak yang mengalami siksaan. Ah, sungguh berat ujian itu, sehingga para ulama’ menyebut tahun itu tahun berduka.

“Namun, Allah memberikan kabar gembira untuk Rasul. Allah memerintahkan beliau untuk melakukan perjalanan Isra’ dan Mi’raj. Semua di lakukan dalam satu malam. Pergi ke Masjidil Aqsha, mengimami sholat para Nabi yang lain. Dilanjutkan dengan pergi ke Langit lapis ke tujuh. Beliau di gembirakan dengan bertemu dengan beberapa Nabi. Dan yang paling menyejarah, beliau langsung di hadapkan dengan Allah SWT. Tak ada penghalang antara beliau dan Allah. Allah membuka tabirNya hanya untuk Muhammad…
Aku semakin tidak mengerti arah pembicaraan ini. Kenapa jadi ke peristiwa Isra’ Mi’raj?

“Bagaimana perasaanmu Nak ketika suatu saat melihat Ka’bah?”

“Terharu Kek. Mungkin tak bisa diungkapkan dengan kata-kata,”

“Maka kejadian ini lebih dahsyat lagi ketimbang melihat Ka’bah. Rasulullah melihat secaa langsung TuhanNya. Allah SWT, tuhan semesta alam. Betapa bahagianya, syahdunya, mungkin isak tangis haru akan selalu tercucur ketika itu. Kenikmatan ruhani yang tak terkira mengalir deras ke seluruh tubuh. Tiada tara.

“Maka pantas seorang Sufi Ganggoh mengatakan, ‘Sekiranya ku jadi Muhammad, Takkan sudi ku beranjak ke bumi, Setelah sampai ke dekat Arasyi’. Pada saat nikmat ruh memuncak maka ada goda untuk tetap terus di situ. Kalau bisa selamanya.

“Namun, Allah memberikan pelajaran lain. Muhammad kemudian justru menerima perintah sholat. Mengembalikannya ke bumi. Maka yang Allah maksud di sini adalah memberikan Muhammad motivasi kembali. Menyediakan Muhammad oase di padang pasir yang kering, sekedar untuk menikmatinya sesaat lalu kemudian melanjutkan perjalanannya kembali. Mengisi ulang bekalnya. Bekal perjuangannya.

“Perjalanan MIi’raj bukanlah titik akhir, merasakah nikmat ruhani yang dahsyat itu bukanlah tujuan utamanya. Inilah yang membuat Rasulullah berbeda dengan Sufi Ganggoh tadi. Jika Sufi menganggap kenikmatan ruhani itu sebagai tujuan hidupnya, maka Rasul menjadikannya hanya sekedar sebuah istrihat. Mengambil bekal yang cukup untuk kembali berjuang melanjutkan menyebarkan Risalah Islam yang memang penuh ujian dan onak duri.

Aku mulai mengantuk, sesekali meregangan otot-otot tanganku dengan mengayunkan ke atas ke bawah. Menampar-nampar wajah sekedar agar kembali segar.

“Maka khusyuk janganlah dijadikan tujuan, atau menjadi perhatian utama dalam sholat bagaimana cara agar khusyuk, atau setidaknya terlihat khusyuk. Jangan sampai seperti ini Nak, Nabi dan para sahabat mendapatkan khusyuk bukan karena mencari-cari, mereka khusyuk karena sholat benar-benar perhentian dari aktivitas maha menguras di sepanjang perjuangan menebar risalah Islam. Mereka khusyuk karena kepayahan dan lelah membelit sehingga menjadikan sadar bahwa mereka hanyalah hamba yang terbatas yang masih butuh pertolongan RabbNya. Bahkan sampai ada yang mengatakan, ‘Barang siapa yang mencari Allah, ia mendapatkan kekhusyukan. Barangsiapa mengejar kekhusyukan, ia kehilangan Allah’

“Kau mengerti Nak?”

Aku kaget. Kakek Jar bertanya tiba-tiba saat lamunanku melayang ke angkasa. “Eh,..eh,,iya Kek..”

“Betapa cueknya ketika seseorang menjadikan agama selalu sebagai urusan pribadi. Urusan pribadi untuk menikmati kenikmatan ruh dan spiritiual. Nikmat menikmati sholatnya di sajadah mahal dengan ruangan ber-AC. Mengurung diri di rumah berharap dan menganggap dirinya paling dicintai Allah. Sedangkan di tempat lain, di bumi Allah lain, banyak saudara-saudara Muslim yang terus ditindas dalam usaha mereka menegakkan syariat. Di tempat lain, di waktu lain, Rasulullah mendapat kekhusyukan sholat di sela-sela payahnya beliau setelah berjihad menegakkan syariat'.

“Di saat muslim di bumi palestina sedang di hujani bom-bom dan rudal-rudal. Di saat di bumi syam kekejaman rezim membuat penduduk untuk tersenyum saja sulit. Di saat di bumi rohingnya toleransi beragama sudah menjadi wacana busuk yang layak di injak-injak karena nyatanya di sana banyak yang dibantai secara beringas. Layakkah kita berdiam diri di kamar, berdo’a agar kita sendiri mendapat surga. Di manakah rasa ikatan atas dasar aqidah kita? bukankah semua  muslim bersaudara? Atau pernahkah minimal di tengah khusyuknya kita berdo’a untuk kemuliaan dan keselamatan mereka di sana?

“Ah, Nak, cukuplah kekhusyukan menjadi sarana dalam ‘berbincang’ kepadaNya. Jangan kau jadikan itu tujuan, namun cukup lah Allah menjadi tujuanmu. Teruslah berlelah-lelah dalam menyampaikan Islam, sehingga di sela-sela kelelahan itu kau mendapatkan kekhusyukan yang amat syahdu, tenteram, dan membuat ruh-ruh jiwa terisi kembali ke puncaknya.”

Aku mengangguk, mendalami kata-kata terakhir beliau.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Seperti Ali dan Fatimah

hai terima kasih udah mendengarkan dan sabar ya, dia gak akan kemana-mana kok, yang udah dituliskan di tinta-Nya, pasti akan ketemu, meskipun kamu sekarang keesepian, melihat teman2 udah gak sendirian, tapi kamu hebat kok, bisa menjaga cuma untuk yang halal nanti, sabar ya, tapi semesta tau, kalo kamu pengen banget diperhatiin, disayangin, dimanjain, ngeliat temen lain udah pada dapat itu, gapapa kok, bertahan aja, gak usah iri, apalagi sama pasangan yg belum halal, ohya, kamu tau kisah cinta palng romantis beberapa abad yg lalu? mereka berdua sama-sama bersabar, menahan rasa yg terus membuncah, padahal rasa itu tumbuh udah mulai kecil,

3.1.a.8.2. Blog Rangkuman Koneksi Antar materi - Modul 3.1

Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,  Saya Muhammad Fajri Romadhoni, S.Kom calon guru penggerak Angkatan 8 dari SMPIT Ar Rahman Kota Banjarbaru Kalimantan Selatan.  Saya ucapkan terimakasih kepada Fasilitator yaitu Bapak Subiarto, M.Pd yang telah membimbing dan senantiasa memotivasi dalam setiap tahapan belajar saya dalam menempuh Pendidikan Guru Penggerak.  Saya juga ucapkan terimakasih kepada pengajar praktik Bapak Alfian Wahyuni, S.Pdi yang selalu mendampingi dan menjadi teman berbagi baik saat menempuh Pendidikan guru penggerak maupun dalam hal lain berkenaan dengan perkembangan pendidikan.  Saya juga ucapkan terimaksih kepada rekan CGP angkatan 8 yang senantiasa berkenan berbagi dan berkolaborasi dalam setiap tahapam PGP. Saya kali ini saya akan membuat rangkuman dari proses perjalanan pembelajaran saya sampai saat ini pada program guru penggerak dengan berpedoman pada pertanyaan berikut ini. Bagaimana filosofi Ki Hajar Dewantara dengan Pratap Triloka memiliki kaitan d

Garis Misterius

Anggap saja dihadapan kita ada sebuah papan tulis, di tangan kita spidol merek ternama memaksa kita untuk menggambar sebuah garis panjang di depan. Garis tersebut memanjang mulai ujung papan sebelah kiri hingga ujung sebelah kanan. Jika diukur, menggunakan pengukur yang ada di meja, menunjukkan angka satu meter. Lagi-lagi tangan kita terpaksa membagi garis panjang tersebut menjadi tiga bagian. Bagian pertama dan ketiga hampir sama panjanganya. Namun, tangan kita membuat bagian yang kedua, yang berada di tengah lebih kecil. Bahkan sangat kecil dibanding yang lain. "Tahukah kalian?" tiba-tiba suara muncul. Reaksi kita tentu kaget. Lah, bagaimana tidak, persepsi kita pasti kalau ada suara tanpa ada sumber suara berarti itu... "Tahukah kalian?" lagi-lagi muncul. "Ehh, enggak. Enggak tahu," anggap saja kita menjawab demikian. "Garis di papan itu adalah garis waktu." "Eh. Eh,,, iya, " anggap saja kita akting gu