Kemarin, adik aku pulang sekolah lebih cepat. Ternyata ia
pulang dengan memegang tangannya kesakitan. “tadi habis main bola faiznya,
terus tegugur,” ucap keponakanku.
Jadi tangannya kesilahu.
Terus aja dia mengeram kesakitan. Sambil meliat tivi tapinya. Saat filmnya
mulai, terdiam. Saat sudah sponsor/iklan eramannya kembali lagi. Hhe..
Jadi sorenya diputuskan untuk pergi ke tukang urut dekat
rumah. ninik ku yang tau seluk beluk tukang urutlah jadi yang mengantar ke
rumah nya. Aku sebagai tukang ojek siap mengantar mereka berdua.
Sampai di tempat tukang urutnya langsung saja faiz di
rebahkan di kasur kecil nan tipis di ruangan tersebut yang memang khusus
tersedia untuk ‘pasien’ yang ingin di urut. Rumah yang sederhana. Hanya terdiri
dari kayu-kayu yang tersusun sedemikian rupa sehingga cukup untuk menampung
penghuni rumah dan melindunginya dari bahaya di luar.
Satu hal yang menarik ketika terjadi percakapan antara ninik
ku dan tukang urut tadi. “Si …. Kemana sekarang? Kadada lagi kah sudah?”.
“Oh. Hi ih.. kadada lagi cil ae,”
Lagi percakapan sejenis terurai,
“eh,,si … meninggal lah sudah..?”
“oh..iya kah? Babila cil…kada mendangar nah..”
Hmm,,,yang paling menonjol memang kalau di kampung itu
adalah setiap anggota rumah mengenal setiap anggota rumah yang lain. bahkan
sampai silsilah keluarga, berapa anaknya berapa cucunya siapa istrinya, apakah
sudah menikah atau belum, hingga apaah ia sudah mati.
Jadi, dari percakapan tadi, yang paling sering ku dengar itu
ya, tentang kematian itu. tanpa disadari ini adalah sebuah alam bawah sadar
yang sudah menjadi kebiasaan bahwa kematian itu sesuatu yang pasti. Setiap orang
itu pasti mati, namun tidak ada yang tau kapan, dimana dan dengan cara
apa.
Maka dengan keadaan bagaimana kah kita mati? Itu rahasia Allah,
kita hanya bisa berusaha dan berdo’a untuk dimatikan dengan cara keren, yaitu
husnul khotimah.
“Tiap-tiap
yang berjiwa akan merasakan mati…” (Q.S. Al Imran : 185)
Komentar
Posting Komentar