Lagi-lagi dalam
pemberitaan media beberapa minggu ini adalah kasus korupsi. Masyarakat pun
sekarang sudah begitu biasa dengan pemberitaan semacam ini. Bagaimana tidak?
Sudah mulai setelah era reformasi –yang katanya perpolitikan di Indonesia
semakin baik- sampai sekarang kasus korupsi di antara para pejabat elite
pemerintahan tak kunjung usai. Adanya lembaga KPK pun bukan menjadi sebuah
ancaman serius bagi para elit politik yang ‘hobby’ korupsi ini untuk berhenti.
Justru semakin lama semakin terbuka semua aib-aib dan kebobrokan para elite
politik negeri ini.
Dengan maraknya
kasus ini, Indonesia pun memiliki prestasi yang cukup memukau di Asia. Negara
dengan jumlah penduduk muslim terbesar di dunia ini dikenal dengan julukan ‘the
envelop country’ atau negara amplop yang tercermin dari aksi suap-menyuap di
banyak hal.
Terakhir kita terkejut dengan kasus yang menimpa ketua MK (Mahkamah Konstitusi), Akil Mochtar. Kasusnya adalah berkaitan dengan sengketa pilkada. Posisi sebagai ketua MK merupakan posisi strategis dan rawan dengan celah-celah korupsi. Ketika ada orang yang bertarung dalam pesta demokrasi yang bernama pilkada sudah pasti membutuhkan biaya yang sangat besar untuk memenangkannya. Sehingga kemenangan pun menjadi syarat mutlak bagi mereka, karena sejatinya setelah kemenangan akan ada kesempatan untuk ‘balik modal’ dana kampanye. Bagaimana dengan yang kemungkinan kalah? Ia pun akan tetap ingin melakukan apapun untuk memenangkannya, salah satunya dengan memanfaatkan celah yang ada pada MK sebagai pemutus. Di sinilah permainan uang itu terjadi. Seperti yang dikatakan oleh Wahyudi Al Maroky, Direktur Pamong Institute yang dilansir Tabloid Media Umat, “Celah itu ada pada MK sebagai pemutus. Di sinilah permainan uang itu bisa terjadi baik kepada yang kalah maupun yang sudah menang Pilkada.”
Ketika kita
membuat pandangan bahwa korupsi ini adalah kesalahan individunya saja maka kata
Ust. Ismail Yusanto akan mudah memberantasnya. Beliau berpendapat jika korupsi
ini adalah karena ketamakan individunya atau keterpaksaan individu oleh karena
gaji yang tidak mencukupi maka tinggal dinaikkan saja gajinya. “Kalau ketamakan
individu ‘dipukul’ sedikit selesai,” katanya.
Atau jika memang benar karena individunya saja, maka dengan pendidikan antikorupsi di sekolah-sekolah dan pembentukan opini oleh media bahwa korupsi itu menyengsarakan insyaAllah dengan begitu masing-masing individu akan sadar. Faktanya guru-guru sudah memberikan nasehat kepada muridnya, para ustadz dan kiyai pesantren pun sudah memberikan ceramah-ceramahnya, dan media-media pun gencar mengkampanyekan anti korupsi, tapi tetap saja korupsi tak berhenti justru malah semakin bertambah dengan terungkapnya kasus ketua MK ini. Sampai-sampai ada juga seorang ustadz yang terseret-seret juga dalam kasus korupsi beberapa bulan yang lalu.
Maka dengan perbaikan individu saja belum cukup, perlu ada perbaikan sistemik. Kita sering mendengar ungkapan istilah, “Kejahatan tidak terjadi karena ada niat dari pelakunya, tapi juga karena ada kesempatan..”. Atau analogi yang lain seperti ketika kita berada di sebuah Mall yang lantainya bersih dan mengkilat. Tentu saja kita akan sungkan mau meludah di lantai itu pun juga membuang sampah ke lantai itu. Itu terjadi karena keadaan yang memaksa kita untuk berbuat bersih. Beda jika ketika kita berada di pertenakan sapi misalnya, membuang sampah bahkan meludah pun menjadi hal biasa. Lagi-lagi itu terjadi karena keadaan yang memaksa kita berbuat kotor. Sama halnya dengan kasus korupsi dalam sistem kapitalisme-demokrasi ini. Seorang ‘alim ulama dan ustadz pun kemungkinan besar bisa terseret dalam kasus seperti ini.
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD pun berpendapat bahwa sistem di Indonesia ini semakin lama semakin buruk sejak era reformasi. Sejak 1999 demokrasi di Indonesia terus dibangun walaupun sering ditemukan banyak kecurangan di berbagai level. Ironisnya, setiap tahun tingkat kecurangan tersebut justru meningkat. Bila pada titik reformasi, 1999 kecurangan dilakukan per orangan atau kelompok, saat ini itu terjadi secara sistemik.
Ia membuktikan ketika menjabat sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi periode 2008-2013. Saat itu MK membatalkan 132 kursi hasil pemilu, yang terdiri dari 72 kursi di tingkat pusat dan sisanya di tingkat daerah. Itu terjadi karena banyak terjadi kecurangan dalam meraih kursi tersebut. “Dari 72 kasus itu semua parpol ada wakil-wakilnya yang terlibat. Jadi dilakukan semua partai dan sistemik,” ujarnya.
Sudah terbukti bahwa individu saja yang salah dalam kasus korupsi di Indonesia ini, melainkan juga sudah menjadi kesalahan sistemik. Bahkan seorang malaikat pun bisa jadi iblis ketika masuk dalam sistem di Indonesia ini. Seperti yang diungkapkan Mahfud MD, “Saat biaya politik semakin mahal, elite juga semakin jelek karena sistem yang dibangun mendorong ke arah korupsi. Malaikat masuk ke dalam sistem Indonesia pun bisa jadi iblis juga.”
Bagaimana sistem terbaik?
Sebagai negara
yang mayoritas penduduknya adalah seorang muslim sangat aneh jika mendapat
predikat korupsi terpopuler di Asia. Ini menunjukkan ada yang salah antara
predikat muslim dengan keislamannya.
Islam adalah agama yang mengatur segala aspek kehidupan. Mulai dari individu, masyarakat, serta bernegara. Maka sebagai muslim sudah sewajarnya menyadari hal itu. Muslim diharuskan mengambil semua yang ada di Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagai petunjuk kehidupan individunya, kehidupan bermasyarakat, dan juga kehidupan bernegara. Menjadikannya satu-satunya tutorial yang mengatur kehidupannya. Maka dengan prinsip inilah seorang muslim akan menjadi muslim sejati tak hanya muslim KTP.
Kita pernah mendapat cerita tentang hakim yang sangat adil pada masa Islam diterapkan hingga dalam konteks bernegara. Saat itu di zaman Khalifah Umar bin Khattab, beliau mendatangi seorang yang terkenal bisa memutuskan perkara dengan adil Syuraih bin Al-Harits Al-Kindi. Ketika itu kasusnya adalah Khalifah Umar setelah membeli seekor kuda dari pedagang kemudian ingin beliau bawa pulang ke rumah ternyata di tengah perjalanan pulang kuda tersebut menjadi cacat dan tak mampu melanjutkan perjalanan. Maka Khalifah ingin mengembalikan kuda tersebut kepada penjual. Namun penjual menolak dan akhirnya memutuskan untuk mengadukan perkara ini kepada Syuraih bin Al-Harits Al-Kindi.
Kasus terselesaikan dengan adil dengan Syuraih bin Al-Harits berkata kepada Khalifah Umar bin Khattab, “Ambillah yang telah Anda beli wahai amirul mukminin, atau kembalikan kuda tersebut dalam keadaan seperti tatkala Anda membelinya.”
Subhanallah, begitu indahnya keadilan dalam kehidupan nan Islami. Kehidupan yang adil ini hanya bisa terbentuk dan sudah terbukti dalam sebuah institusi negara Khilafah ala’ Minhajin Nubuwah.
*Tulisan ini dimuat di Kolom Opini Radar Banjarmasin, 31 Oktober 2013 dan 1 November 2013
Komentar
Posting Komentar