Pagi ini adalah minggu pagi. Kalau ada yang tanya besok hari apa, maka saya jawab dengan keren besok hari senin. Kemudian lagi ketika ada yang tanya kemarin hari apa, maka saya jawab dengan asyik, kemarin adalah hari sabtu. Dan ketika ada lagi yang bertanya hari ini hari apa, maka saya jawab dengan asoy, hari ini hari minggu.
Lantas siapa yang akan bertanya kesitu kemari? oke, marilah kita sedikit berhayal di pagi yang ceria ini. Seceria anak TK yang masih main di arena bermain yang terkomposisi atas ayunan, perosotan, jungkat-jungkit, dll.
Begini khayalannya.
Saya berada di sebuah ruangan, ber-AC, cukup luas. Bisa menampung hingga beratus-ratus orang. Dengan kursi yang juga beratus-ratus jumlahnya. Panggung di depan ruangan terlihat megah. Kursi sofa pun bertengger di atas panggung menandakan sofa lebih tinggi dari panggung.
“Lantas ketika anda tidak suka menulis kenapa sekarang ingin menjadi seorang penulis?” tanya salah seorang lelaki berambut kribo, berkumis lebat dan tebal, alis lebat dan tebal, berkacamata lebat dan tebal di sudut kiri gawang ruangan.
“Oke, pertanyaan di tampung dulu ya ke penampungan. Oh, maaf mas, namanya siapa tadi?” tanya em si di forum itu.
“Nggak usah mas. Nama saya gak penting.” jawab lelaki tadi.
“Oke. Terimakasih mas gak penting. Kita lanjutkan, siapa lagi yang ingin bertanya?” lagi-lagi em si bertanya siapa yg ingin bertanya.
-----
tulisan tersendat sekitar satu atau dua jam karena Ridho datang dan mengambil alih laptop ini. Kemudian saya membakar sampah di luar. Kemudian lagi saya memasak air di dapur. Kemudian dan kemudian lagi saya minum kopi. Kemudian, kemudian dan kemudian lagi saya sudah berada saling menatap mesra dengan laptop sambil memijit-mijit tombol-tombolnya. Maka kita lanjutkan tulisan ini.
-----
Hening sejenak. Tiba-tiba ada yang mengangkat tangannya. “Saya mas!”
“Iyak ! silahkan pertanyaannya langsung,” em si menengahi sambil memberi isyarat ke panitia untuk memberikan mic nya ke penanya tadi.
“Saya dulu kenal dengan mas penulis di depan itu. Dia orangnya biasa-biasa saja. Teman sepermainan saya main kelereng. Lantas kenapa sekarang loe bisa jadi di depan dan gue masih gini-gini aja! Jelaskan ! Gue mau penjelasan !” mengerikan. Penanya yang satu ini menaikkan tensi nadanya setengah oktaf. Meskipun saya juga gak tau setengah oktaf maksudnya apa.
“Oke, oke mas. Tidak usah diteruskan. Anda akan memperkeruh suasana di sini yang sudah asri.”
“Tidak. Belum! saya belum selesai ! tolong hargai saya mas Em Si. Saya juga manusia !”
“Tidak. waktu anda sudah habis.
“Tidak. Waktu saya masih ada.”
“Oke, saya beri kesempatan. Sepuluh detik.”
“Yak, terima kasih saya cuma ingin memperkenalkan nama saya. Saya Arjuna, cucu dari Kakek Jar.” ternyata selesai kurang dari sepuluh detik.
“Oke terima kasih cucu Kakek Jar. Dua pertanyaan sudah di tampung ke penampungan terdekat. Sekarang kita akan mendengarkan penjelasan dari narasumber kita. Penulis buku yang tertulis best seller di covernya. Entah di tulis sendiri atau memang itu sebuah penghargaan.” em si kembali mengambil perhatian peserta.
“Bismillah,” saya mulai berbicara, “jujur, saya hanya ingin menebar kebaikan. Saya sadar bahwa hidup ini hanya sebentar. Tidak ada yang tau ketika saya selesai berbicara ini apakah saya masih diberi nafas olehNya. Mungkin kalau diberi nafas buatan saya tidak tau siapa yang akan memberi. Tidak ada yang tau juga apakah saya masih bisa bertemu anda kembali setelah keluar dari ruangan ini. Tidak ada yang tau. Maka diperlukanlah sebuah tulisan. Sebuah nasihat yang abadi, insyaallah. Saya teringat kata-kata khalifah ke empat umat muslim yang anehnya sekarang umat muslim tidak punya khalifah, begini kata-katanya, ‘ikatlah ilmu dengan menuliskannya,.’
“Mungkin itu sedikit menjawab tentang pertanyaan pertama,
“Untuk yang kedua, saya tidak tau kenapa juga seperti ini. Saya anggap ini sebuah efek samping dari Allah. Minimal kita niatkan menulis untuk Allah, terkait dengan lakunya buku, diterima pembaca, atau menjadi terkenal itu cukup kita anggap efek samping.
“Oh ya, saya teringat buku Habits yang pernah saya baca. Ketika ingin menjadi profesional di satu bidang, kita harus bisa membuat habits di bidang itu. Karena orang yang besar tak pernah hadir dengan instant, ia pasti telah melalui proses panjang pembentukan habits sehingga memperoleh keprofesionalan di bidang itu.
Gleg….! tiba-tiba lampu ruangan mati.
---
Lampu ruangan mati? aslinya saya kehabisan ide buat nulis kelanjutan ceritanya. Sudahlah jangan salahkan saya, saya cuma pengen nulis sesuatu. Sesuatu. Sesuatu.
Dan. Itu tadi cuma khayalan.
Wassalam.
Lantas siapa yang akan bertanya kesitu kemari? oke, marilah kita sedikit berhayal di pagi yang ceria ini. Seceria anak TK yang masih main di arena bermain yang terkomposisi atas ayunan, perosotan, jungkat-jungkit, dll.
Begini khayalannya.
Saya berada di sebuah ruangan, ber-AC, cukup luas. Bisa menampung hingga beratus-ratus orang. Dengan kursi yang juga beratus-ratus jumlahnya. Panggung di depan ruangan terlihat megah. Kursi sofa pun bertengger di atas panggung menandakan sofa lebih tinggi dari panggung.
“Lantas ketika anda tidak suka menulis kenapa sekarang ingin menjadi seorang penulis?” tanya salah seorang lelaki berambut kribo, berkumis lebat dan tebal, alis lebat dan tebal, berkacamata lebat dan tebal di sudut kiri gawang ruangan.
“Oke, pertanyaan di tampung dulu ya ke penampungan. Oh, maaf mas, namanya siapa tadi?” tanya em si di forum itu.
“Nggak usah mas. Nama saya gak penting.” jawab lelaki tadi.
“Oke. Terimakasih mas gak penting. Kita lanjutkan, siapa lagi yang ingin bertanya?” lagi-lagi em si bertanya siapa yg ingin bertanya.
-----
tulisan tersendat sekitar satu atau dua jam karena Ridho datang dan mengambil alih laptop ini. Kemudian saya membakar sampah di luar. Kemudian lagi saya memasak air di dapur. Kemudian dan kemudian lagi saya minum kopi. Kemudian, kemudian dan kemudian lagi saya sudah berada saling menatap mesra dengan laptop sambil memijit-mijit tombol-tombolnya. Maka kita lanjutkan tulisan ini.
-----
Hening sejenak. Tiba-tiba ada yang mengangkat tangannya. “Saya mas!”
“Iyak ! silahkan pertanyaannya langsung,” em si menengahi sambil memberi isyarat ke panitia untuk memberikan mic nya ke penanya tadi.
“Saya dulu kenal dengan mas penulis di depan itu. Dia orangnya biasa-biasa saja. Teman sepermainan saya main kelereng. Lantas kenapa sekarang loe bisa jadi di depan dan gue masih gini-gini aja! Jelaskan ! Gue mau penjelasan !” mengerikan. Penanya yang satu ini menaikkan tensi nadanya setengah oktaf. Meskipun saya juga gak tau setengah oktaf maksudnya apa.
“Oke, oke mas. Tidak usah diteruskan. Anda akan memperkeruh suasana di sini yang sudah asri.”
“Tidak. Belum! saya belum selesai ! tolong hargai saya mas Em Si. Saya juga manusia !”
“Tidak. waktu anda sudah habis.
“Tidak. Waktu saya masih ada.”
“Oke, saya beri kesempatan. Sepuluh detik.”
“Yak, terima kasih saya cuma ingin memperkenalkan nama saya. Saya Arjuna, cucu dari Kakek Jar.” ternyata selesai kurang dari sepuluh detik.
“Oke terima kasih cucu Kakek Jar. Dua pertanyaan sudah di tampung ke penampungan terdekat. Sekarang kita akan mendengarkan penjelasan dari narasumber kita. Penulis buku yang tertulis best seller di covernya. Entah di tulis sendiri atau memang itu sebuah penghargaan.” em si kembali mengambil perhatian peserta.
“Bismillah,” saya mulai berbicara, “jujur, saya hanya ingin menebar kebaikan. Saya sadar bahwa hidup ini hanya sebentar. Tidak ada yang tau ketika saya selesai berbicara ini apakah saya masih diberi nafas olehNya. Mungkin kalau diberi nafas buatan saya tidak tau siapa yang akan memberi. Tidak ada yang tau juga apakah saya masih bisa bertemu anda kembali setelah keluar dari ruangan ini. Tidak ada yang tau. Maka diperlukanlah sebuah tulisan. Sebuah nasihat yang abadi, insyaallah. Saya teringat kata-kata khalifah ke empat umat muslim yang anehnya sekarang umat muslim tidak punya khalifah, begini kata-katanya, ‘ikatlah ilmu dengan menuliskannya,.’
“Mungkin itu sedikit menjawab tentang pertanyaan pertama,
“Untuk yang kedua, saya tidak tau kenapa juga seperti ini. Saya anggap ini sebuah efek samping dari Allah. Minimal kita niatkan menulis untuk Allah, terkait dengan lakunya buku, diterima pembaca, atau menjadi terkenal itu cukup kita anggap efek samping.
“Oh ya, saya teringat buku Habits yang pernah saya baca. Ketika ingin menjadi profesional di satu bidang, kita harus bisa membuat habits di bidang itu. Karena orang yang besar tak pernah hadir dengan instant, ia pasti telah melalui proses panjang pembentukan habits sehingga memperoleh keprofesionalan di bidang itu.
Gleg….! tiba-tiba lampu ruangan mati.
---
Lampu ruangan mati? aslinya saya kehabisan ide buat nulis kelanjutan ceritanya. Sudahlah jangan salahkan saya, saya cuma pengen nulis sesuatu. Sesuatu. Sesuatu.
Dan. Itu tadi cuma khayalan.
Wassalam.
Komentar
Posting Komentar