Menurut kamus besar bahasa indonesia, air dikategorikan sebagai kata benda (noun). Disebutkan definisi pertama dari air adalah cairan jernih tidak berwarna, tidak berasa, dan tidak berbau yg terdapat dan diperlukan dl kehidupan manusia, hewan, dan tumbuhan yg secara kimiawi mengandung hidrogen dan oksigen. Adapun definisi keduanya masih menurut KBBI, benda cair yg biasa terdapat di sumur, sungai, danau yg mendidih pd suhu 100o C.
Itu menurut buku KBBI, kita liat lagi definisinya menurut para ahli.
Menurut Robert J. Kodoatie, air merupakan material yang membuat kehidupan terjadi di bumi.
Menurut Sitanala Arsyad, air adalah senyawa gabungan antara dua atom hidrogen dan satu atom oksigen menjadi H2O
Menurut Eko Budi Kuncoro, air merupakan suatu senyawa kimia sederhana yang terdiri atas 2 atom hidrogen (H) dan 1 atom Oksigen (O). Air mempunyai ikatan Hidrogen yang cenderung bersatu padu untuk menentang kekuatan dari luar yang akan memecahkan ikatan-ikatan ini.
Menurut Sayyid Quthb, air adalah dasar dari suatu kehidupan dan merupakan satu unsur yang dibutuhkan dalam kehidupan hingga manusia pun sangat menantikan kedatangannya.
Satu lagi, menurut seseorang yang cukup terkenal juga, Muhammad Fajri Romadhoni,
air adalah sesuatu yang bisa diminum ketika haus.
Berbicara mengenai air, mari kita berhijrah dari definisi air menuju keajaiban sebuah air. Cerita ini sudah sangat sering diceritakan diberbagai kajian-kajian islam. Bahkan cerita ini justru sering saya dapatkan di waktu kecil. Ketika sekolah.
Ini kisah tentang keajaiban sebuah air. Inipun kisah tentang iman yang melekat kuat. Inipun kisah tentang ta’at yang meloncati batas-batas suka dan tak suka.
Tiga manusia itu sedang melintasi sebuah gurun pasir. Kering, panas, gersang. Mereka adalah pasangan suami-istri beserta anaknya yang masih bayi memerah. Lelah membuat mereka berhenti sejenak. Sang bayi kehausan.
Sang ayah, bukannya mencari solusi atau membantu menenangkan sang bayi, malah ia pergi menjauh. Sekilas sang isteri terlihat matanya berkaca-kaca. Apa yang sang suami lakukan ketika ia membutuhkannya? Ia perlahan mengejar. Mencoba menyusul.
“Mengapa kau tinggalkan kami wahai Ibrahim?”, serunya penuh tanya.
Lelaki itu, diam. Ia hanya berhenti sejenak. Mengambil nafas dalam-dalam, menghembuskannya kemudian melanjutkan langkah kecilnya tuk menjauh.
“Mengapa kau tinggalkan kami suamiku?”, kedua kalinya.
Tak ada resepon jawaban. Masih diam. Ia tak mampu menjawab. Melangkah lagi, sedikit menyerong menghindar dari istrinya yang menghadang.
“Mengapa kau tinggalkan kami?”, ini yang ketiga kalinya.
Ibrahim masih diam. Kecamuk rasa mengamuk di dadanya. Bagaimana tidak? Berpuluh-puluh tahun ia mendabakan seorang anak. Beratus-ratus malam ia berdoa tuk diberikan sang buah hati. Sekarang ketika semua itu ada, Isma’il, justru Allah ingin ia meninggalkannya di tengah gurun bersama istrinya. Tetapi apa daya, ini perintah Allah. Ibrahim pun hanya berusaha berprasangka baik padaNya. Hanya saja perih itu harus rela ia tahan hingga ia tahu apa maksud Allah dibalik semua ini.
Tiba-tiba siti Hajar berada di depannya. Menatapnya penuh kaca, “Apakah ini perintah Allah?”. Pertanyaan yang beda dari sebelumnya.
Ibrahim tersentak. Mendekati Hajar, memegang tangannya mesra, menatapnya penuh cinta. “Ya,” katanya sambil menghela nafas panjang, “ini perintah Allah.”
Sesaat hening. Mereka berpelukan. Erat. “Kalau ini perintah Allah,” kata Hajar berbisik di telinga Ibrahim, “maka Dia sekali-kali takkan pernah menyia-nyiakan kami.”
Subhanallah. Sungguh pertama kali saya membaca kisah ini, yang diceritakan kembali di buku Salim A. Fillah dalam “Jalan Cinta Para Pejuang”, saya gemetar. Betapa luar biasanya ketika Siti Hajar berkata, “Kalau ini perintah Allah maka Dia sekali-kali takkan pernah menyia-nyiakan kami.” Sungguh kalimat ini yang membuat saya bergetar.
Bisa saja kan, dengan manusiawinya wajar jika Siti Hajar berkata, “Oh jadi kamu mau meninggalkan kami sendirian disini? Sehingga bisa bersenang-senang dengan isterimu yang lain?” Tidak! Sekali-kali tidak akan Bunda Hajar berkata-kata tak berakhlaq itu. Justru kalimat tadilah yang keluar dari lisan mulianya. Dan jika saja itu terjadi, kita pun tak akan mengenal sa’I antara bukit Shafa dan Marwa, tentu tak kenal kita dengan ritual lempar jumrah, dan tak ada juga ibadah kurban. Serta yang paling menakjubkan setelah peristiwa itu, adalah keluarnya air zam-zam. Tidak dari tempat Bunda Hajar mencari bolak-balik dari bukit Safa dan Marwa, namun justru air keajaiban itu muncul dari bawah kaki sang bayi. Isma’il.
Dari situlah air zam-zam, air keajaiban ini mulai memancar. Hingga sekarang pun tak pernah habis.
Komentar
Posting Komentar