Setelah beberapa detik, menit, jam berlalu akhirnya saya menemukan ide untuk ditulis kali ini. Dengan mencari-cari ke sana kemari seperti orang yang kehilangan uangnya, dari membuka laptop, melihat-lihat foto, terus mencucuk modem, buka-buka twitter sebentar, facebook, masih belum dapat juga. Sampai-sampai update status facebook dulu, terus ‘menulak-akan’ adik sekolah, terus kembali lagi ke depan laptop, dan akhirnya dapat.
Sebelum hilang lagi, saya langsung saja menulis yang tidak karuan seperti paragraf di atas. Cukup tidak penting sebenarnya paragraf di atas itu. Kalau saja blog ini punya editor pasti sudah di hapus dan gak bakalan dimuat paragraf pertama itu. Apalagi paragraf yang sedang kalian baca ini. Sungguh tak penting.
Anak-anak. Mungkin itu yang membuat sebagian dari kami akan rindu dengan desa Baliangin selain suasana dan pemandangannya. Kalau suasananya, biasanya jam-jam segini kalau lagi nganggur, masih saja ada yang tidur, ada juga yang sudah cuci-cuci baju, ada juga yang sudah masak memasak, dan ada juga yang sibuk memicik-micik hape. Macam-macam.
Kalau pemandangannya, wah ini tak ada tandingannya. Keluar rumah sudah disuguhi pemandangan rumput-rumput hijau membentang di depan rumah. Kau berjalan sedikit lagi ke depan kau akan menemukan jalan setapak. Jalan yang mungkin sulit dilupakan rusaknya. Jalan yang membuat kami bergoyang-goyang indah ketika menunggangi sepeda motor. Tengok kiri kau akan melihat jalanannya menanjak. Tengok kanan kau akan melihat jalanannya agak menurun kemudian sedikit demi sedikit menanjak lagi. Jika wajahmu tetap kau dongakkan ke depan akan terlihat pepohonan, jurang, dan rumah warga yang bertajak di pinggirian bukit. Biasanya yang terlihat mencolok adalah sapinya. Sedang makan rumput dengan lahap.
Dan ketika kami memulai proker mengajar, jam segini para guru tanpa bayaran sudah abut bermake-up ria. Dan biasanya masih ada aja yang belum mandi karena giliran mandinya terakhir. Kalau yang ini pasti ia berstrategi untuk sarapan dulu, baru setelah itu mandi.
Guru yang ikhlas ini saya beri inisial namanya, pertama Y, ada N, ada P, ada R. Yang lainnya mungkin karena sadar kemampuan diri jadi tak ikut-ikutan. Toh, kelasnya cuma dua, kelas satu dan kelas dua,tiga. Nah bingung ya…kelas dua dan tiga di sekolah ini digabung, muridnya pun cuma enam (kalau gak salah, betul gak para guru Y, N, P, R?). Nah kalau kelas satunya yang banyak, banyak karena adaaa aja yang bawa adiknya ikut masuk kelas. Padahal belum cukup umur.
Inipun akan sulit dilupakan. SD yang unik dengan keunikan murid-muridnya. Hehe..
Kejadian menarik ketika kita sudah H-1 mau pulang. Mereka lebih sering datang ke rumah. Tingkahnya agak sedikit berubah. Sedikit cari perhatian berlebih dengan kenakalannya. Ada juga saat malamnya akan acara penutupan, si Muqtafi CS datang ke rumah sebelum maghrib dengan pakaian rapi khas anak pesantren. Kemudian saat adzan maghrib, mereka berlari menuju kamar mandi pak kades, berwudhu. Selesai itu mereka menggelar sajadah di rumah kami rapih. Dan Muqtafi, si juara lomba adzan saat 17-an kemarin adzan di situ. Akhirnya request teman2 yang ingin mendengar suara adzannya terpenuhi. Dan akhirnya kami sholat berjama’ah di rumah kecil sederhana itu. Sampai sholat isya’ mereka disitu dan kami sholat isya’ berjama’ah lagi, setelah itu siap-siap ke lapangan depan SD tuk menyiapkan acara penutupan sekaligus nonton bareng bersama warga.
Besoknya mereka datang lagi setelah kami selesai dari kecamatan acara penutupan dan presentasi kegiatan kami selama di desa. Agak pusing kami yang sedang besesimpun di ganggu2 oleh mereka. Ada saja tingkahnya, mulai dari yang mengambil I barang-barang kami yang sudah tidak terpakai dan malas untuk membawa pulang, “Ini buat saya ya kak?” sampai membujuk tuk minta diprintkan foto2, atau menjahili kami dengan aneka kejahilan ala anak-anak.
Akhirnya mobil pick up datang, mereka langsung membantu kami mengangkat barang-barang yang sudah diikat rapi tuk dimasukkan ke dalam pick up. “Ini, kak…. Ini, kak tasnya….Ini..ini..kak….Ini juga dibawa kak?….” Semua selesai di angkat ke dalam pick up. Kami pun berpamitan dengan warga yang kebetulan ada beberapa yang datang ke rumah kami. Dengan bapak dan ibu kades, ibu bidan, dan warga yang lain. Tak dengan anak2. Sampai di anak-anak, ternyata mereka ada yang menangis terisak, ada yang sedih menatap kosong, ada yang menutup mata basahnya dengan tangan, ada yang berusaha terlihat tegar. Hiks…hiks… kami juga jadi berkaca-kaca. “Jangan nangis yaa…nanti kapan-kapan kakak ke sini lagi, belajar yang rajin, harus bisa baca dan nulis, jadi nanti bisa sms-an sama kakaknya…OKE ?! “
Akhirnya kami pulang….
Keren, Tahun Berapa nech KKN di desa itu
BalasHapustahun 2013 :)
Hapus