Sebenarnya ketika sebelum KKN dimulai saya memiliki beberapa target yang ingin dicapai. Bukan hanya sekedar nilai yang ternyata begitu mudah didapat. Tapi ada beberapa target pribadi, salah duanya itu membuat perpustakaan mini dan satunya lagi saya membuat buku bercerita tentang KKN ini. Ternyata eh ternyata takdir berkata lain, entah sejak kapan yang namanya takdir itu bisa berbicara tapi yang jelas ia berkata lain.
Keduanya tidak ada yang terpenuhi. Yang perpus mini terkendala dana, sehingga mulai awal sudah tidak diprioritaskan untuk dikerjakan. Yang membuat buku targetnya saya menulis satu kali sehari di sana, tapi takdir berkata lain lagi, hanya empat tulisan yang saya dapat selama di sana. Maklum masih belum menemukan tempat yang PeWe. Lagipula setelah dipikir-pikir siapa yang mau beli buku begituan, paling-paling adek saya, temen satu kelompok, udah. Nah sisanya…..
Maka saya coba ceritakan saja kepingan memori-memori itu di blog butut ini. Kan kalau di sini terserah saja ada yang mau baca atau tidak. Tapi kamu yang sudah terlanjur membaca sampai paragraf ini teruskan saja, karena yang setengah-setengah itu tidak baik. Telur setengah matang saja yang menurut saya enak. Apalagi kalo dimasakin istri.
Kemarin sudah satu kali tulisan saya posting di sini. Ya sudah diduga yang baca kayaknya cuma temen satu kelompok KKN saya, itupun mungkin karena saya ‘tandai’ di twitter dan fesbuk. Kalo enggak…duh…siapa? siapa?
Tulisan kedua ini pun saya tulis karena ada request ingin diceritakan tentang kegagalan satu proker lagi. Duh, kok seneng banget ya menceritakan kegagalan itu. Kan menyakitkan, apalagi yang udah pagi-pagi bela2in naik bukit buat cari si sinyal, sehingga si bahan pun datang.
Cara mengolah pupuk kompos prokernya. Awalnya kami ingin mengundang dosen pembimbing lapangan kami. Ya, karena di kelompok ini tak ada satupun yang ahli tentang kompos mengompos, atau saudara2nya. Dari biologi yang mempelajari tentang mikroba-mikroba pun tak de. Jadi, kami coba mengundang yang lebih ahli dibidangnya.
Sesampai di ruang dosen, takdir berkata lain lagi. Beliau ternyata ada ‘hauran’ di hari H itu. Sehingga beliau menjelaskan sedikit bagaimana cara menjelaskannya, dan selebihnya berkata, “cari aja di google banyak kok…! Lebih bagus kalau kalian yang ngisi, nanti kesan warga itu juga lebih bagus…”
“Oke, Pak!”
Sehingga ke banjarbaru yang menempuh perjalanan cukup terjal, menguras keringat dan air mata untuk melobby dosen seakan sia-sia. Saya pulang kembali ke perantauan di desa. Menceritakan dengan penuh kesedihan bagaimana motor saya tiba-tiba berhenti karena membawa kelelepon parak maghrib. Atau bagaimana ngerinya menaiki gunung dengan jalan yang membuat badan saya bergoyang asyik tanpa ada lampu jalan. Karena jam sudah menunjukkan antara maghrib dan isya’. Itu saya ceritakan supaya si anak buah kelompok ini tersentuh hatinya. Tapi mereka bilang, “kalo ikam kada bulik hari ini tadi, kami handak besesimpun dah handak bulik esok…” Hikss…mirisnya bannya..
Tapi itu mungkin cuma kalimat candaan, karena salah dua dari mereka bersemangat untuk mencari bahan kompos mengompos tadi dengan bertanya di mbah google. Pagi-pagi setelah shubuh salah dua dari mereka pergi ke atas bukit, karena hanya di situ mbah google bisa ditemui. Kira-kira setengah jam salah dua tadi kesana. (Oh ya supaya gak susah saya pake inisial saja si salah dua ini ya. Yang satu inisial R, yang satu inisial P)
Pulang dari bukit mereka ceria karena dapat bertemu mbah google dan menanyakan beberapa pertanyaan tentang kompos mengompos. Setelah itu mereka kembali dengan semangat membuat slide presentasinya, kemudian membuat handout yang akan dibagikan ke warga nanti. Terlihat semangat yang begitu menggebu-gebu dari mereka berdua dengan sesekali bercerita kemudian diselingi tawa-tawa.
Setelah siap semua akhirnya kami semua pergi ke tempat pertemuan. Di SD Baliangin. Acara pertama adalah penyuluhan pola hidup sehat kepada anak-anak SD. Dimulai dari jam 9 pagi hingga setengah 11. Sambil memperhatikan penjelasan PJ penyuluhan ini yang berinisial Y, saya sesekali menengok keluar.
Jam sudah menunjukkan pukul setengah 11, saya coba tengok keluar lagi. Tetap masih tidak ada. Maka penyuluhannya di lama in sedikit dengan agenda-agenda yang tak direncanakan, seperti disuruh menyanyi kedepan, dll.
Sudah pukul 11, coba tengok keluar lagi. Ah…ternyata masih tidak ada, sehingga saya putuskan. Dengan berat hati dan tidak sombong. Menimbang dan memperhatikan dengan seksama segala konsekuensi yang ada. Mengkalkulasi semua kemungkinan, semua positif, semua negatif. Menghitung dengan cermat maka diputuskan untuk mengcancel acara penyuluhan komposnya.
Mungkin bisa kalian bayangkan bagaimana sedihnya seseorang yang berinisial R dan P setelah mendengar keputusan ini.
***
“Pertanyaan sesi terakhir,” seru moderator.
“Dari penelitian termutakhir, ternyata kualitas sebuah bangsa sangat ditentukan dari persentase rata-rata tingkat kegagalannya. Negara yang paling kecil persentase kegagalannya, menggambarkan betapa hebatnya kualitas bangsa tersebut.
Sekarang pertanyaan penentuan, sebutkan secara persentase kegagalan dari bangsa anda!”
Giliran pertama, Bangsa Amerika.
“Rerata kegagalan bangsa kami adalah sekitar 50 persen dari seluruh percobaan yang kami lakikan.” Jawab mister Amerika tersebut datar.
Giliran kedua, wakil China. Terlihat dia menunduk malu.
“Saya merasa berat untuk mengucapkannya. Angka kegagalan kami dari seluruh percobaan yang kami lakukan adalah sekitar delapan puluh persen.”
Hmmmmhh. Angka kegagalan yang tinggi sekali. Terlihat para suporter dari China menunduk ke tanah, sebagian menangis, sebagian lagi tidak tahan langsung meninggalkan kerumunan.
Giliran ketiga, Jagoan kita! Kali ini mukanya terlihat sangat cerah, dan dengan lantang dia bersuara..
“Angka kegagalan kami hampir NOL persen!!” teriaknya bangga, “Kenapa? Karena kami hampir tak pernah mencoba, sehingga gagal saja tak pernah. Apalagi sukses!” teriaknya.
Mendadak susasana berubah riuh. Suporter Indonesia berteriak serempak penuh kemenangan.
Moderator yang juga orang Indonesia itupun bernafas lega.
Akhirnya…..
Saya hanya bisa menitikkan air mata. Terharu.
Seraya meneyelipkan bisikan dari batin,
“Saya bangga jadi orang Indonesia!”
(tulisan yg terlihat miring dikutip dari buku Al-Qandas Al-Kamil, Akin)
Komentar
Posting Komentar